Senin, 10 November 2008

Imam Muslim


Imam Muslim

Siapa tak kenal Imam Muslim. Di kalangan santri, karya-karyanya masih menjadi rujukan penting berkaitan dengan ilmu Hadits. Di bidang ini (periwayatan Hadits), namanya sering disandingkan dengan Imam Bukhari, penghimpun dan perawi Hadits terbaik. Karena itu, nama Imam Muslim dan Imam Bukhari kerap kali bersanding dalam periwayatan sebuah Hadits.

Keduanya pun, dalam literatur Islam, kemudian dikenal dengan sebutan Imam Syaikhaan (dua ulama besar perawi Hadits). Bahkan, tak jarang sebuah Hadits hanya ditulis perawinya dengan nama rawahu syaikhaan maksudnya tak lain Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dilahirkan di Naisabur pada 202 H/817 M, Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur (kini termasuk wilayah Rusia, Red) dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr. Artinya, daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.

Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu Hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, ia telah berkonsentrasi mempelajari Hadits. Beruntung, ia dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada ahli Hadits, Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, ia mulai menghafal Hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan Hadits.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang kemudian menjadi aktivitas rutin dirinya hanya untuk sekadar mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah Hadits.

Ia misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, tak terhindarkan Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru Hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar Hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli Hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah ia berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli Hadits. Kunjungannya yang terakhir ia lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu Hadits ketimbang dirinya.

Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, ia bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Lebih tragis lagi, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan Hadits-hadits Nabi SAW.

Imam Muslim dalam kitab Sahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan Hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal ia adalah gurunya. Hal serupa juga ia lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Sahihnya Hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendati demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Imam Muslim yang dikenal sangat tawadu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu Hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar Hadits pada Universitas Damaskus, Syria, Hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah 3.030 Hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 Hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, Hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 Hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah Hadits yang ia tulis dalam Sahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 Hadits yang ia ketahui. Untuk menyaring Hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.

Soal metode penyusunan Hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu Hadits. Ia juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).

Berkat kesungguhan dan keseriusannya, Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu Hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang Hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafiz. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli Hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy. Jejak panjang perjuangan Imam Muslim berakhir pada Ahad sore, 24 Rajab 261, ketika Sang Khaliq menghendaki dirinya menghadap. (hery)[republika.
Imam Muslim

Siapa tak kenal Imam Muslim. Di kalangan santri, karya-karyanya masih menjadi rujukan penting berkaitan dengan ilmu Hadits. Di bidang ini (periwayatan Hadits), namanya sering disandingkan dengan Imam Bukhari, penghimpun dan perawi Hadits terbaik. Karena itu, nama Imam Muslim dan Imam Bukhari kerap kali bersanding dalam periwayatan sebuah Hadits.

Keduanya pun, dalam literatur Islam, kemudian dikenal dengan sebutan Imam Syaikhaan (dua ulama besar perawi Hadits). Bahkan, tak jarang sebuah Hadits hanya ditulis perawinya dengan nama rawahu syaikhaan maksudnya tak lain Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dilahirkan di Naisabur pada 202 H/817 M, Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur (kini termasuk wilayah Rusia, Red) dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr. Artinya, daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.

Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu Hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, ia telah berkonsentrasi mempelajari Hadits. Beruntung, ia dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada ahli Hadits, Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, ia mulai menghafal Hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan Hadits.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang kemudian menjadi aktivitas rutin dirinya hanya untuk sekadar mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah Hadits.

Ia misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, tak terhindarkan Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru Hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar Hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli Hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah ia berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli Hadits. Kunjungannya yang terakhir ia lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu Hadits ketimbang dirinya.

Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, ia bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Lebih tragis lagi, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan Hadits-hadits Nabi SAW.

Imam Muslim dalam kitab Sahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan Hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal ia adalah gurunya. Hal serupa juga ia lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Sahihnya Hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendati demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Imam Muslim yang dikenal sangat tawadu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu Hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar Hadits pada Universitas Damaskus, Syria, Hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah 3.030 Hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 Hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, Hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 Hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah Hadits yang ia tulis dalam Sahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 Hadits yang ia ketahui. Untuk menyaring Hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.

Soal metode penyusunan Hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu Hadits. Ia juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).

Berkat kesungguhan dan keseriusannya, Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu Hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang Hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafiz. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli Hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy. Jejak panjang perjuangan Imam Muslim berakhir pada Ahad sore, 24 Rajab 261, ketika Sang Khaliq menghendaki dirinya menghadap. [republika.co.id]

Tidak ada komentar: