Senin, 10 November 2008

CERITA ANAK HARUN YAHYA



Kamal dan Kunang-Kunang

Pada malam musim panas, Kamal dan keluarganya biasa menyantap makanan malam mereka di taman. Suatu malam di musim panas, ketika mereka bangkit dari meja, Kamal melihat seberkas cahaya timbul tenggelam di antara pepohonan di sisi taman. Ia pergi mendatangi pohon-pohon itu untuk melihat apa yang terjadi. Dilihatnya seekor serangga terbang melintas dengan cepat. Serangga itu sangat berbeda dengan yang biasa dilihatnya di siang hari. Serangga kali ini memancarkan sinarnya ketika terbang.

Serangga itu berhenti terbang untuk beberapa saat, dan mendatangi Kamal. “Halo, “ katanya. “Kamu kelihatan terkejut. Kamu sudah memperhatikan aku cukup lama. Namaku Kunang-Kunang. Namamu siapa?”

“Namaku Kamal. Kamu benar, aku belum pernah melihat serangga yang bekerdipan dengan sinar seperti kamu. Sinar hijau kekuningan memancar dari tubuhmu. Aku teringat ketika aku menyentuh sebuah bola lampu, tanganku terbakar. Apakah cahaya yang keluar dari tubuhmu itu tidak melukaimu?”

Kunang-kunang itu mengangguk. “Kamu benar, Kamal, waktu kamu katakan bahwa lampu menjadi sangat panas ketika memancarkan cahaya. Bola lampu menggunakan tenaga listrik untuk menghasilkan cahaya, sebagian tenaga listrik itu berubah menjadi panas. Itulah yang menyebabkan lampu menjadi panas. Tetapi, kami tidak mengambil energi luar untuk cahaya yang dipancarkan oleh tubuh kami.”

Kamal pikir ia mengerti. “Jadi, itu berarti kamu tidak menjadi panas?” ia bertanya.

“Itu betul,” kunang-kunang setuju. “Kami menghasilkan sendiri energi kami, dan kami gunakan energi ini dengan sangat hati-hati. Itu berarti, tak sedikitpun energi terbuang, dan energi itu tidak menghasilkan panas yang bakal melukai tubuh kami.”

Kamal menimbang sejenak, “Wah, itu betul-betul sistem yang dipikirkan dengan cerdik.”

“Ya, memang,” temannya setuju. “Ketika Allah menciptakan kami, Ia merencanakan segala sesuatu yang kami perlukan dalam kemungkinan cara yang terbaik. Ketika kami terbang, kami mengepakkan sayap sangat cepat. Tentu saja, itu adalah pekerjaan yang membutuhkan banyak energi. Namun karena cahaya kami tidak banyak menggunakan energi, kami tidak punya masalah dengan itu.”

Kamal punya hal lain yang ingin ditanyakannya. “Untuk apa cahaya yang kalian pancarkan?”

Temannya menjelaskan: “Kami menggunakannya untuk menyampaikan pesan di antara kami, juga untuk melindungi diri kami sendiri. Ketika kami ingin mengatakan sesuatu satu sama lain, kami berbicara dengan mengedip-ngedipkan cahaya kami. Pada saat yang lain, kami memanfaatkannya untuk menakut-nakuti musuh kami, dan mengusir mereka dari kami.”

Kamal sangat terkesan dengan apa yang telah dikatakan temannya pada dirinya. “Jadi, apapun yang kamu perlukan ada di dalam tubuhmu, sehingga kamu tidak perlu berlelah-lelah!”

“Itu benar,” kunang-kunang setuju. “Bertentangan dengan semua upaya terbaik mereka, para cendekiawan belum berhasil mengembangkan sebuah sistem yang persis seperti kami miliki. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Allah menciptakan kami dengan cara yang paling indah, dan dengan cara yang paling sesuai dengan kebutuhan kami, persis seperti semua makhluk hidup lainnya.”

Kamal tersenyum. “Terimakasih. Apa yang sudah kamu ceritakan padaku sungguh menarik. Aku sekarang menyadari apa makna ayat yang kubaca kemarin, “Maka, apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?’ (Surat an-Nahl: 17). Ketika kamu pikirkan diri sendiri, juga semua makhluk hidup yang telah diciptakan Allah, ada banyak sekali contoh untuk diambil hikmahnya!!”

“Ya, Kamal, setiap makhluk hidup adalah bukti keutamaan seni penciptaan Allah. Kini, kapanpun kaulihat sesuatu, kamu akan mampu memperhatikannya. Sekarang, aku harus pergi. Tapi, jangan lupa dengan apa yang pernah kita obrolkan!”

Kamal melambaikan tangan kepada temannya. “Senang sekali bertemu denganmu. Mudah-mudahan aku bisa melihatmu lagi ...”

Dalam perjalanan pulang, merenungkan rancangan kunang-kunang yang begitu menakjubkan, Kamal ingin segera memberitahu keluarganya tentang percakapannya dengan teman kecilnya.

Ialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling Baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Surat Al Hasyr: 24).

Laut Merah terletak di antara dua gurun pasir. Tak ada sungai ataupun air segar yang mengalir. Dengan kata lain, tidak ada pertukaran oksigen atau nitrogen. Normalnya, laut seperti ini akan menjadi gurun tandus seperti daratan yang mengelilinginya. Namun, di Laut Merah terdapat beranekaragam koral. Koral-koral yang mampu hidup di tempat ini, kendati berada dalam kondisi-kondisi sulit, dapat melakukan hal tersebut karena simbiosis (yaitu, cara hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya) yang mereka bangun dengan makhluk-makhluk lain yang menyerupai tanaman, disebut alga (algae). Alga menyembunyikan diri dari musuh-musuhnya di dalam karang-karang koral, dan menggunakan sinar matahari untuk berfotosintesis. Gaya hidup yang harmonis dari kedua makhluk ini merupakan bukti lain dari keajaiban penciptaan Allah.

Ahmad dan Kodok Hijau

Pada akhir pekan, Ahmad pergi memancing di sebuah danau bersama Ayahnya. Ketika Ayahnya menyiapkan joran-joran pancing, Ahmad meminta izin untuk menjelajahi kawasan sekitarnya. Ayah mengizinkan, asalkan Ahmad tidak pergi terlalu jauh.

Ahmad mulai berjalan di antara kabut di tepi danau. Seekor kodok tiba-tiba melompat di antara dua semak dan mendarat di atas batu tepat di depannya.

“Kamu hampir saja menginjakku!” si kodok mengeluh.

“Maaf,” ujar Ahmad. “Warnaiiiiimu persis seperti dedaunan, sampai-sampai aku tidak melihatmu, kodok kecil. Namaku Ahmad, dan aku sedang berjalan-jalan di sini.”

Kodok itu tersenyum: “Senang sekali bertemu denganmu, Ahmad. Wajar saja kalau kamu tidak melihatku. Aku hidup di antara semak-semak ini, dan warnaku senada dengan warna dedaunan. Dengan cara itu, musuh-musuhku tidak dapat melihatku, seperti kamu. Aku dapat bersembunyi dari mereka dengan mudah.”

Ahmad berpikir sejenak. “Ya, tapi bagaimana kalau mereka melihatmu? Lalu, apa yang kamu lakukan?”

“Kalau kamu perhatikan dengan teliti,” kata kodok itu, sambil mengangkat sebelah kakinya, “Kamu akan melihat selaput di antara jari-jariku. Ketika aku melompat, kubuka semua jariku. Dengan cara itu, aku dapat melayang di udara. Kadang-kadang aku bisa terbang sampai 40 kaki (12 meter) dalam sekali lompatan.”

“Lalu, bagaimana ketika kamu ingin mendarat?” Ahmad berpikir.

“Kugunakan kaki-kakiku ketika ku terbang. Kugunakan selaput kakiku seperti parasut untuk melambatkan kecepatan badanku saat mendarat,” kodok itu menjelaskan.

“Wah, itu sangat menarik,” Ahmad merenung. “Sebelumnya, aku tidak pernah membayangkan kalau kodok bisa terbang.”

Kodok itu menyeringai. “Beberapa spesies kodok dapat terbang sejauh mereka dapat berenang. Inilah rahmat yang diberikan Allah pada kami. Allah menciptakan warna-warna kami sedemikian rupa untuk menyamarkan kami dalam lingkungan tempat tinggal kami. Hal itu memungkinkan kami untuk bertahan hidup. Jika Allah tidak menciptakan kami seperti ini, dengan segera kami akan terbunuh oleh binatang-binatang lain.”

Ahmad melihat maknanya. “Selaput di antara jari-jarimu penting bagimu agar bisa melompat dalam jarak yang jauh. Aku tidak punya selaput di kakiku karena aku tidak memerlukannya. Kebutuhan setiap makhluk hidup berbeda-beda, bukankah begitu?”

“Ya, kamu benar. Kamu menyatakannya dengan baik.”


Ahmad menjawab, “Allah menciptakan kita dengan cara terbaik untuk memudahkan hidup kita. Kita semestinya bersyukur padaNya karena itu.”

“Benar, benar sekali, Ahmad,” temannya setuju. “Tuhan kita menciptakan semua makhluk hidup sesuai dengan lingkungan tempat mereka hidup. Ia memberikan kita apapun yang kita perlukan ketika kita dilahirkan.”

“Ya,” kata Ahmad. “Sekarang, kodok kecil, aku harus pergi. Kalau tidak, Ayahku akan mengira sesuatu terjadi padaku. Senang sekali berbincang-bincang denganmu. Jika di lain waktu aku datang ke sini, aku akan kembali mengunjungimu.”

“Aku akan menantimu. Senang juga bertemu denganmu. Selamat tinggal, Ahmad ...” kodok itu berkuak sambil melompat kembali ke dalam semak, dan menghilang dari pandangan Ahmad.

Kaki Kodok yang Berselaput

Salah satu makhluk menakjubkan yang diciptakan Allah adalah sejenis kodok yang hidup di hutan-hutan perawan. Ciri paling menarik dari kodok pohon kecil, yang mempunyai kaki-kaki kecil dan selaput di antara jemarinya, adalah bahwa ia dapat menggunakan kaki-kakinya untuk terbang dengan meluncur di udara. Ketika kodok kecil ini terbang dari pohon ke pohon, ia menggunakan kaki-kakinya seperti parasut ketika hendak melunakkan pendaratannya. Dengan membuka selaput di antara jemarinya, kodok menggandakan wilayah permukaan tubuhnya. Kodok terbang dapat melayang di udara sejauh lebih dari 40 kaki (12 meter), sebelum mendarat di sebuah pohon. Dengan menggerakkan kaki-kakinya dan mengubah bentuk kaki yang berselaput, mereka bahkan dapat mengendalikan arah terbangnya.

Hamid dan Bangau Berkaki Panjang

Hamid adalah anak laki-laki yang sangat rajin dan ceria. Ia sangat tertarik pada burung-burung, dan ingin mengetahui segala sesuatu tentang mereka dengan baik. Terkadang ia merawat burung-burung di rumahnya, tapi kemudian dibiarkannya mereka pergi. Ia sangat menyukai kebebasan burung-burung itu. Suatu hari di musim semi, Hamid melihat sekumpulan burung berkaki panjang terbang bersama-sama. Langsung ia berlari ke teras rumahnya untuk memperhatikan mereka lebih dekat lagi. Sesampainya di luar, ia melihat dua ekor dari sekumpulan burung itu telah mendarat di atap rumah. Ia sangat gembira melihat mereka. Dilambaikannya tangannya, dan dipanggilnya burung-burung itu.

“Halo, aku Hamid. Kalian siapa?”

“Halo, Hamid. Kuharap kami tidak menyulitkanmu dengan mendarat di sini. Kami ingin sekali berbincang-bincang denganmu, dan mengenalmu,” kata salah satu burung dari pasangan itu.

“Dengan senang hati,” kata Hamid. “Aku suka sekali pada semua burung, sangat suka. Dapatkah kalian ceritakan sedikit padaku tentang diri kalian?”

“Tentu saja,” balas burung pertama. “Kami adalah bangau. Kami merupakan burung-burung yang bermigrasi dengan sayap-sayap seputih salju yang merentang sepanjang 3.5-5 kaki (atau satu sampai satu setengah meter), ditambah ekor hitam yang panjang. Warna merah pada paruh kami, dan kaki panjang kami, membuat penampilan kami tampak menarik.”

Hamid setuju. “Kamu betul-betul tampak cantik!”

“Apa yang paling diperhatikan orang pada diri kami adalah gaya terbang kami,” bangau itu melanjutkan. “Kami terbang dengan paruh mengarah lurus ke depan, sementara kaki-kaki kami lurus ke belakang. Ini membuat kami mampu terbang lebih cepat dengan memanfaatkan udara.”

Hamid ingin tahu, “Dan, kemana kalian bepergian sekarang?”

“Setiap tahun kami bermigrasi dalam kumpulan-kumpulan besar, Hamid, karena kami tak dapat berdiam di tempat-tempat yang dingin. Dengan melakukan penerbangan ini, kami juga membawa kabar baik pada orang-orang tentang mendekatnya hari-hari musim panas yang hangat. Selama musim panas berlangsung, kami tinggal di sepanjang wilayah luas yang merentang dari Eropa ke Afrika Utara, dan dari Turki ke Jepang. Ketika cuaca mulai mendingin, kami bermigrasi ke belahan bumi selatan, ke Afrika tropis dan India.”

Hamid bingung, “Tapi, bagaimana kalian mengetahui saat-saat ketika cuaca mulai mendingin?”

Bangau itu tersenyum. “Itu betul-betul pertanyaan bagus. Tentu saja, jawabannya adalah bahwa Allah mengajari kami. Kami semua, pada waktu yang sama, merasakan kebutuhan untuk berpindah ke negara-negara yang hangat. Allah membuat kami merasakan itu. Adalah Allah yang memperlihatkan kami cara-cara terbang, dan ketika musim gugur kembali datang, Ia memastikan bahwa kami dapat kembali melintasi jarak ribuan mil dan menemukan kembali rumah lama kami. Allahlah dengan inspirasiNya yang mengajari kami semua ini.”

“Menarik sekali! Kalian dapat bepergian jauh dan kembali, lalu menemukan sarang lama kalian tanpa membuat kesalahan, seakan-akan kalian memiliki kompas di tangan,” kata Hamid terkesan.

Bangau itu meneruskan, “Tentu saja, jenis ingatan yang kuat seperti ini, dan kemampuan menemukan arah yang baik, semuanya merupakan hasil penciptaan Allah yang luarbiasa, yang memberikanNya pada kami.”

Hamid punya pertanyaan lain pada teman barunya, “Kalian ‘kan tinggal di dekat manusia?”

“Iya,” jawab temannya. “Kami membuat sarang-sarang kami di atap-atap rumah. Dan kami membangun sarang-sarang di puncak pepohonan serta cerobong asap ...”

Bangau lain kemudian berdiri dan berkata, “Maaf, Hamid, kami harus melanjutkan perjalanan.”

Hamid menyaksikan teman-teman barunya tampak mengeci,l dan kian mengecil, ketika mereka melanjutkan perjalanannya.

Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, dan kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Surat al-An’am: 38).


Nabil dan Anjing Laut

Nabil tengah menonton televisi, suatu hari setelah kembali ke rumah dari sekolah. Ada program dokumenter di sebuah saluran. Nabil senang sekali menonton dokumenter tentang binatang-binatang yang tak pernah dilihatnya dalam kehidupannya sesungguhnya. Kali ini, program itu bercerita tentang anjing laut. Nabil duduk menghadap televisi, dan mulai menonton penuh minat.

Namun tiba-tiba, ia merasa dingin. Ia memperhatikan sekelilingnya dan menyadari bahwa sekarang, ia tengah berada di dalam gambar TV. Tepat di sebelahnya ada seekor anjing laut yang baru saja disaksikannya di layar televisi!

“Halo!” katanya, sedikit menggigil, pada si anjing laut. “Dingin betul di sini, apa kamu tidak merasakan itu?”

“Kamu pasti baru di sini!” jawab anjing laut. “Selalu dingin di sini. Paling hangat suhunya 23 derajat Fahrenheit (minus 5 derajat Celsius), bahkan di musim panas. Suhu seperti ini cocok buatku, karena kami, anjing-anjing laut, suka pada udara dingin. Kami tidak pernah merasa (kedinginan). Mengapa bisa demikian? Itu berkat bulu-bulu kami, jubah luarbiasa ini, yang telah diberikan Allah kepada kami! Tentu saja, lemak di badan kami juga membantu melindungi kami melawan dingin.”

“Ibumukah yang ada di sana?” Nabil menunjuk seekor anjing laut yang lebih besar pada jarak kejauhan. “Kupikir, ia mencarimu. Panggillah ia, dan biarkan ia tahu di mana kamu berada, kalau kamu suka ...”

Anjing laut itu meneruskan. “Kami, anjing laut, hidup dalam kumpulan yang besar. Dan, ya, kami mirip sekali satu sama lain. Tetapi, Ibu kami tidak pernah bingung membedakan kami dengan anjing laut lain. Inilah kemampuan yang diberikan Allah padanya. Begitu bayinya lahir, sang Ibu memberinya ciuman selamat datang. Karena ciuman inilah, ia mengenali bau bayinya, dan tidak pernah mencampurkannya dengan bau bayi lainnya. Inilah salah satu rahmat Allah yang tidak terhitung, yang telah diberikanNya pada kami. Kami bersyukur pada Allah yang Maha Kuasa, karena Ia memberi Ibu kami kemampuan untuk mengenali kami di antara kerumunan tempat kami tinggal.”

Ada hal lain yang ingin ditanyakan Nabil. “Aku ingat pernah membaca bahwa kamu menghabiskan sebagian besar waktumu di air. Jadi, bagaimana kalian belajar berenang?”

Teman barunya menjelaskan. “Allah menciptakan kita semua sesuai dengan keadaan-keadaan tempat kita hidup, dan membuat kita siap untuk semua itu. Seperti Ia menciptakan unta sesuai dengan kondisi-kondisi gurun, Ia juga menciptakan kami sesuai dengan kondisi-kondisi dingin ini. Adalah kehendak Allah bahwa kami terlahir dengan tubuh yang dilengkapi oleh selapis lemak yang disebut lemak bayi. Badan kecil kami tetap hangat berkat lemak ini. Dan karena lapisan lemak lebih ringan daripada air, maka lemak tersebut bertindak sebagai sejenis pelampung ketika Ibu-Ibu kami mengajari kami berenang. Setelah dua minggu belajar berenang, kami betul-betul menjadi perenang dan penyelam yang hebat.”

“Jadi, Allah menciptakan sabuk pengaman yang istimewa di dalam tubuh kalian, sehingga kalian bisa belajar berenang! Alangkah hebatnya!”

“Itu benar,” kata si anjing laut kecil. “Setiap makhluk hidup yang diciptakanNya begitu sempurna merupakan bukti bahwa Allah memiliki kekuasaan atas segala sesuatu.”

Persis pada saat itu, Nabil dibangunkn oleh ciuman hangat di pipi, dari Ibunya. Dokumenter di televisi masih berlangsung. Nabil teringat mimpi yang baru dialaminya. Ia tersenyum pada si anjing kecil di layar televisi.

... Jika kaucoba untuk menghitung rahmat Allah, engkau tak akan pernah mampu menghitungnya ... (Surat Ibrahim: 34)

Di antara Tanda-TandaNya adalah penciptaan langit dan bumi, dan seluruh makhluk ... (Surat Asy-Syura: 29)

ANJING-ANJING LAUT YANG MAMPU BERTAHAN

Air samudera amat sangat dingin, terutama di kedalaman. Karena alasan ini, Allah menciptakan anjing laut, yang tinggal di air dingin, dengan selapis tebal lemak di bawah kulit mereka. Lapisan ini mencegah anjing-anjing laut kehilangan panas tubuh dengan cepat. Hal lain yang menarik dari anjing laut adalah susu yang dihasilkan oleh anjing laut betina. Sejauh ini diketahui bahwa susu anjing laut betina merupakan susu yang paling kaya, paling bergizi di alam ini. Susu ini membuat bayi-bayi anjing laut, yang dibesarkan di bawah kondisi yang sulit, tumbuh dengan pesat.

Tidak ada komentar: