Senin, 10 November 2008

Ibnu Bajjah


Ibnu Bajjah

Umat Islam telah sampai ke tanah Spanyol (Andalusia) semenjak zaman sahabat Rasul. Kedatangan mereka telah berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat di sana khususnya dalam bidang keilmuan. Sepanjang pemerintahan Islam di Spanyol, telah lahir sejumlah cendikiawan dan sarjana dalam pelbagai bidang ilmu. Sebagian mereka ialah ahli sains, matematika, astronomi, perobatan, filsafat, sastra, dan sebagainya.

Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Saigh atau lebih terkenal sebagai Ibnu Bajjah adalah salah seorang diantara para cendekiawan Muslim tersebut. Terlahir di Saragossa tahun 1082 M, Ibnu Bajjah merupakan seorang sastrawan dan ahli bahasa yang unggul. Ia pernah menjadi penyair bagi golongan al-Murabbitin yang dipimpin oleh Abu Bakr Ibrahim Ibn Tafalwit.

Selain itu, Ibnu Bajjah juga ahli di bidang musik dan pemain gambus yang handal. Ia juga seorang yang hafal Al-Qur'an. Dalam waktu yang sama, Ibnu Bajjah amat terkenal dalam bidang perobatan dan merupakan salah seorang dokter terkenal yang pernah dilahirkan di Andalusia.

Kehebatannya pun turut terlihat dalam bidang politik sehingga ia dilantik menjadi menteri semasa Abu Bakr Ibrahim berkuasa di Saragossa. Lebih menakjubkan lagi, beliau dapat menguasai ilmu matematika, fisika, dan falak. Pada kesempatan itu beliau banyak menulis buku yang berkaitan dengan ilmu logika. Kemampuannya menguasai berbagai ilmu itu menjadikannya seorang sarjana teragung bahkan tiada bandingan di Andalusia dan barangkali di dunia Islam. Sumbangannya dalam bidang keilmuan begitu besar.

Dalam bidang filsafat umpamanya, kemampuan Ibnu Bajjah setara dengan al-Farabi ataupun Aristoteles. Dalam bidang ini ia mengemukakan gagasan filsafat ketuhanan yang menetapkan manusia boleh berhubungan dengan akal fa'al melalui perantaraan ilmu pengetahuan dan pembangunan potensi manusia.

Menurut Ibnu Bajjah, manusia boleh mendekati Tuhan melalui amalan berfikir dan tidak semestinya melalui amalan tasawuf yang dikemukakan oleh Iman al-Ghazali. Dengan ilmu dan amalan berfikir, segala keutamaan dan perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin serta menguasai jiwa. Usaha ini dapat menumpas sifat hewaniah yang bersarang dalam hati dan diri manusia.

Berdasarkan pendapatnya, seseorang harus mengupayakan perjuangannya untuk berhubung dengan alam bersama-sama dengan masyarakatnya ataupun secara terpisah. Kalau masyarakat itu tidak baik maka seseorang itu harus menyepi dan menyendiri.

Pandangan filsafat Ibnu Bajjah ini jelas dipengaruhi oleh ide-ide al-Farabi. Pemikiran filsafatnya ini dapat diikuti dalam Risalah al-Wida dan kitab Tadbir al-Muttawwahid yang secara umum merupakan pembelaan kepada karya-karya al-Farabi dan Ibn Sina kecuali bagian yang berkenaan dengan sistem menyepi dan menyendiri.

Namun, ada sebagian pemikir mengatakan bahwa kitab tersebut sama dengan buku al-Madinah al-Fadhilah yang ditulis al-Farabi. Dalam buku itu, al-Farabi menjelaskan pandangan beliau mengenai politik dan falsafah. Semasa membicarakan tentang politik, al-Farabi telah mencadangkan supaya sebuah negara kebajikan yang diketuai oleh ahli filsafat diwujudkan.

Satu persamaan yang kentara antara al-Farabi dengan Ibnu Bajjah ialah kedua-duanya meletakkan ilmu mengatasi segala-galanya. Mereka hampir sependapat bahwa akal dan wahyu merupakan satu hakekat yang padu. Upaya untuk memisahkan kedua-duanya hanya akan melahirkan sebuah masyarakat dan negara yang pincang.

Oleh sebab itu, akal dan wahyu harus menjadi dasar dan asas pembinaan sebuah negara serta masyarakat yang bahagia. Ibnu Bajjah berpendapat bahwa akal boleh menyebabkan manusia mengenali apa saja kewujudan benda atau Tuhan. Akal boleh mengenali dengan sendiri perkara-perkara tersebut tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur kerohanian melalui amalan tasawuf.

Selain itu, Ibnu Bajjah juga telah menulis sebuah buku yang berjudul Al-Nafs yang membicarakan persoalan yang berkaitan dengan jiwa. Pembicaraan itu banyak dipengaruhi oleh gagasan pemikiran filsafat Yunani. Oleh sebab itulah, Ibnu Bajjah banyak membuat ulasan terhadap karya dan hasil tulisan Aristoteles, Galenos, al-Farabi, dan al-Razi.

Minatnya dalam soal yang berkaitan dengan ketuhanan dan metafisika jauh mengatasi bidang ilmu lain meski beliau mahir dalam ilmu psikologi, politik, perobatan, aljabar, dan sebagainya. Sewaktu membicarakan ilmu logika, Ibnu Bajjah berpendapat bahwa sesuatu yang dianggap ada itu sama ada benar-benar ada atau tidak ada bergantung pada yang diyakini ada atau hanyalah suatu kemungkinan. Justru apa yang diyakini itulah sebenarnya satu kebenaran dan sesuatu kemungkinan itu boleh jadi mungkin benar dan tidak benar.

Kenyataannya, banyak perkara di dunia ini yang tidak dapat diuraikan menggunakan logika. Jadi, Ibnu Bajjah belajar ilmu-ilmu lain untuk membantunya memahaminya hal-hal berkaitan dengan metafisika.

Ilmu sains dan fisika misalnya digunakan oleh Ibnu Bajjah untuk menguraikan persoalan benda dan rupa. Menurut Ibnu Bajjah, benda tidak mungkin terwujud tanpa rupa tetapi rupa tanpa benda mungkin wujud. Oleh sebab itu, kita boleh menggambarkan sesuatu dalam bentuk dan rupa yang berbeda-beda.

Masih banyak lagi pemikiran filsafat Ibnu Bajjah yang tidak diketahui karena sebagian besar karya tulisnya telah musnah. Bahan yang tinggal dan sampai kepada kita hanya merupakan sisa-sisa dokumen yang berserakan di beberapa perpustakaan di Eropa. Setengah pandangan filsafatnya jelas mendahului zamannya.

Sebagai contoh, beliau telah lama menggunakan ungkapan manusia sebagai makhluk sosial, sebelum para sarjana Barat berbuat demikian. Begitu juga konsep masyarakat madani telah dibicarakan dalam tulisannya secara tidak langsung. Sesungguhnya Ibnu Bajjah merupakan tokoh ilmuwan yang hebat.

Namun kehebatannya inilah yang mengundang cemburu beberapa kalangan. Perasaan dengki dan cemburu ini menyebabkannya diracuni dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1138. Biar pun umur Ibnu Bajjah tidak panjang tetapi sumbangan dan pemikirannya telah meletakkan dasar yang kokoh bagi perkembangan ilmu dan filsafat di bumi Andalusia.

Tidak ada komentar: