Senin, 10 November 2008
Imam Bukhari
Imam Bukhari
Siapa tak kenal Imam Bukhari. Di kalangan muhadditsin (pakar Hadits), dia menjadi narasumber utama tentang ilmu Hadits. Sementara di kalangan peminat sejarah Islam dan pesantren, ia menjadi rujukan penting. Jejak perjuangannya banyak melahirkan ulama dan tokoh besar. Lihatlah perawi-perawi Hadits terkenal semisal Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasai, Ibnu Majjah, dan Abu Daud, adalah bekas anak didiknya. Karenanya, ia dijuluki Amirul-Mu'minin fil Hadits (pemimpin orang Mukmin dalam Hadits), gelar tertinggi bagi ahli Hadits.
Terlahir dengan nama Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al Mughirah ibn Bardizbah, (lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari), ia guru para muhadditsin ternama. Lahir di Bukhara pada 13 Syawwal 194 H (21 Juli 810 M). Ayah Bukhari selain berilmu, juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan takwa.
Keunggulan dan kejeniusan Imam Bukhari sudah tampak sejak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang bersih dan otak yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, khususnya dalam menghafal Hadits.
Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal Hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan kakaknya mengunjungi berbagai kota suci. Dalam petualangannya itu, banyak ulama dan tokoh-tokoh negerinya yang ia temui untuk belajar Hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Di usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah hafal kitab Sunan Ibn Mubarak dan Waki.
Rasyid ibn Ismail, kakak sang Imam menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu karena tidak mencatat.
Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 Hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Tahun 210 H, Bukhari berangkat ke Baitullah untuk menunaikan haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia memilih menetap di Mekkah. Meski di Baitullah, namun sesekali ia pergi ke Madinah. Di kedua Tanah Suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al Jami' As Sahih dan pendahuluannya.
Ia juga menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi SAW. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As Sagir, Al Awsat, dan Al Kabir, lahir dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya memberikan kritik, sehingga ia pernah berkata, sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Karya-karyanya itu tak lepas dari pengembaraannya ke banyak negeri : Syam, Mesir, Baghdad, Kuffah, dan Jazirah Arab, yang banyak memberikan inspirasi dan gagasan. Berkat kejeniusannya itu, Imam Bukhari berhasil merawi Hadits dari 80.000 perawi dan menghafalnya rinci dengan sumbernya.
Imam Muslim bin Al Hajjaj, pengarang kitab As Sahih Muslim menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."
Sementara itu, Az Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata : "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Sayang, tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az Zihli kepadanya. Kata Az Zihli : "Barang siapa berpendapat lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya : "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab : "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata : "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Selain mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnya pada karya terbesarnya, Sahih Bukhari, Imam Bukhari juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdoa sebelum menulis buku itu. Sebagian buku tersebut ditulisnya di samping makam Nabi di Madinah. Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan Hadits muridnya ini : "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka.
Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya. Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat.
Selain terkenal sebagai seorang alim, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Ia juga produktif dalam berkarya. Banyak buku telah dikarangnya, di antaranya : Al Jami' as-Sahih (Sahih Bukhari), Al Adab Al Mufrad, At Tarikh As Sagir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh Al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad Al Kabir, Kitab Al 'Ilal. Selain itu, ia juga menulis kitab Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Al Asyribah, Al Qira'ah Khalf Al Imam, Kitab Ad Du'afa, Asami as Sahabah, Kitab Al Kuna.
Kitab Al Jami' As Shahih (Sahih Bukhari), menjadi karya monumental Imam Bukhari. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata : "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari Hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al Jami' As Sahih."
Dalam menghimpun Hadits sahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan kesahihan Hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan Hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi Hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya : "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 Hadits selama 16 tahun." [republika.co.id]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar