Senin, 10 November 2008
Ibnu Qoyyim
Ibnu Qoyyim
Nama lengkap Ibnu Qoyyim adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Said bin Hariz Azzar'ie. Ia berasal dari Damsyik. Nama julukannya adalah syamsuddin. Nama sehari-harinya ia dipanggil "Abu Abdullah".
Mengapa ia dipanggil Ibnu Qoyyim? Padahal dilihat dari nama sebenarnya ia tidak ada kaitan dengan nama Qoyyim. Persoalannya, ayahnya adalah seorang pendiri dan pengasuh perguruan "Al-Jauziyah"n, daerah pasar gandum di kota Damsyik. Karena bapaknya adalah pendiri (qoyyim) perguruan tersebut, maka ia dipanggil dengan "Ibnu Qoyyim Al Jauziyah". Tapi singkatnya ia dipanggil "Ibnu Qoyyim".
Ibnu Qoyyim dilahirkan di kota Damsyik (sekarang Damaskus) tahun 691 H (1292 M). Ia dibesarkan dalam keluarga ilmuwan. Kondisi askripsi ini dilimpahkan pada Ibnu Qoyyim, sehingga ia menjadi terkenal, lantaran situasi ketika ia dilahirkan dan dibesarkan, kota Damsyik tengah berada dalamkeadaan puncak peradaban ilmu pengetahuan. Dan ISlam merupakan bagian yang sangat internalized dalam setiap individu maupun masyarakatnya.
Ilmu pengetahuan dan peradaban Islam sangat kental di kota Damsyik. Sehingga lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah bertebaran di mana-mana. Namun Ibnu Qoyyim menjadikan ayahnya sebagai gurunya langsung. Ia mendapat bimbingan dpengarahan dari ayahnya sendiri. Luas ilmu yang dimiliki Ibnu Qoyyim karena sangat dipengaruhi oleh berbagai guru lain yang menjadi ulama terkenal seperti: Ahmad Ibnu Taimiyah, Ibnu Syirazi, dan lain-lain. Dengan demikian tidak mengherankan ia menjadi ulama yang kondang di abad ke-8 hijriyah.
Fikiran-fikirannya sangat tajam dan cemerlang. Keistiqomahan sangat tercermin dalam tulisan-tulisan dan sikapnya terhadap fenomena-fenomena kemaksiatan yang ada. Ia melontarkan fikiranfiirannya mengenai kemaksiatan dan dampak-dampaknya pada pribadi dan masyarakat.
Pertama: Karena berbuat maksiat, maka seseorang akan terbiasa dengan kemaksiatan. Hal ini dapat dipahami dalam masyarakat. Seseorang pada awalnya merasa aneh dengan kemaksiatan yang ada di lingkungan. Kemudian, ia mencoba mencicipibuah terlarang (maksiat). Lama-kelamaan akan terdorong untuk melakukan tindakan maksiat berikutnya. akhirnya, tindakan coba-coba tersebut berakhir menjadi kebiasaan. Kemaksiatan (kesenangan semu) ini menjadi kebiasaan karena peranan syetan yang idak henti-hentinya mengganggumanusia untuk menjadi abdi mereka.
Kedua: Karena melakukan perbuatan maksiat, seseorang kehilangan rasa malu. ras malu merupakan cerminan pribadi manusia. Bila manusia sudah kehilangan rasa malu, pandangan, hati dan pendengarannya seakan-akan tertutup dari kebenaran. Dengan demikian ketiadaan rasa malu pada diri manusia digambarkan sebagai tanpa rasa. karsa dan karya yang bersifat kemanusiaan.
Ibnu Qoyyim tida melepaskan dirinya dari proses belajar dan mengjar (bima tu'allimu nal kitab wa bima kuntum tadrusun). Ia mengajar di perguruan Al Jauziyah, milik ayahnya. Profesi gurunya ia tekuni meskipun ia sudah menjadi ulama termasyhur dan disegani. Murid-muridnya banyak sekali. Muridnya yang turut muncul ke permukaan anatar lain Ibnu Katsir. Keulamaannya sangat tercermin dengan sikap hidupnya yang bisa menjadi teladan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Begitu juga di sela-sela waktunya sebagai pendidik dan tokoh refernsi keagamaan masyarakat, ia tidak melupakan diri untuk mengkonstruksikan fikiran-fikirannya dalam bentuk buku.
Sejak kecil, Ibnu Qoyyim sudah nampak bakat intelektualitas dan keulamaannya. Ia giat belajar, terbuka sifat pribadinya, rendah hatinya, tenang penampilannya, disenangi sikap dan kearifan fikirannya oleh masyarakat, tegar ucapannya walaupun harus menghadapi resiko. Sifat-sifat tersebut terkumpul dalam perilaunya dan turut pula menshibghah kebudayaan dan pengetahuan yang ada.
Kepribadian dan prilakunya yang menarik dan menonjol tersebut lantaran ia begitu sulit melepaskan diri dari Qurän dan Hadits. Setelah ia menghafal Al-Qurän secara sempurna, dilanjutkan dengan menhafal Hadits. Ia pun m enjadikan sastra dan bahasa sebagai pusat perhatiannya. Kompleksitas pengetahuan dalam dirinya didukung oleh manhaj yang tertata dengan baik, tercermin dalam kajian, fikiran dalam buku-bukunya. ia begitu sabar, sistematik dan teliti uraiannya, pembahasannya luas dan mendalam. Dengan demikian, tulisannya terasa tersuguhkan dengan lengkap, serasi dan berkesinambungan.
Karena itu, tidak mengherankan bila seorang doktor dari Al Azhar yakni Al Ustadz Husaini Ali Ridwan membahas secara khusus mengenai tulisan Ibnu Qoyyim. [Majalah Sabili No. 33 Tahun II Januari 1991]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar