Anakku Mungkin hidup yang kita jalani ini tak akan pernah terasa mudah bila kita banyak mengeluh. Sikapilah hidup ini dengan sabar dan iklash, berani menghadapi dunia dengan rasa syukur dan iktiar yang pantang menyerah. Allah tak akan memberikan kita cobaan melebihi kemampuan kita, dan Allah pun tak akan membiarkan umatnya menangis. Anakku sebagai seorang ibu yang penuh dengan kekurangan ini, maafkanlah aku bila tidak dapat membimbingmu lebih baik dari pada seharusnya. Tapi aku percaya Allah dan malaikatnya selalu mendampingimu. Tangismu akan disapu Allah dengan keindahan jiwa dan kehalusan budi pekerti. Dalam hidup ini tidak ada istilah gagal, yang ada hanya kesuksesan yang tertunda, sabarkanlah hatimu.
Sabtu, 15 November 2008
Senin, 10 November 2008
CENDIKIAWAN MUSLIM
CENDIKIAWAN MUSLIM
Dalam perjalanan sejarah Hadiah Nobel sepanjang sekitar 100 tahun, baru ada empat Muslim yang mendapatkan anugerah itu. Mereka adalah almarhum Presiden Mesir Anwar Sadat, sastrawan Mesir Najib Mahfudz, lmuwan Pakistan Abdus Salam, dan terakhir ilmuwan asal Mesir yang menetap di AS, Ahmad Zuwaeli asal Mesir. Dua yang pertama mendapatkah Penghargaan Nobel di bidang perdamaian dan sastra. Sedangkan Abdus Salam di bidang fisika dan Zuwaeli--yang juga hafiz Quran--di bidang kimia pada 2000.
Hadiah Nobel adalah penghargaan yang diberikan oleh Alfred Nobel (1833-1896) sejak tahun 1901 untuk lima bidang: fisika, kimia, kedokteran, sastra, dan perdamaian. Pada 1968 bertambah lagi satu bidang, yaitu ekonomi. Penghargaan Nobel, terutama di bidang ilmu pengetahuan, diberikan kepada seorang ilmuwan atas penemuan yang dinyatakan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan dalam bidangnya masing-masing.
Jauh sebelum Abdus Salam dan Zuwaeli, sekitar 9 atau 10 abad lalu, Al-Kindi (pendiri psikofisik), Al-Khawarizmi (bapak aljabar dan geografi), Abu Al-Zahrawi (penemu acuan gips modern), Abu Said Al-Sijzi (penemu sistem heliosentrik dan pendahulu Galileo), Ibnu Haitham (penemu teknik fotografi dan energi solar), Ibnu Sina (bapak ilmu kedokteran modern), Al-Ghazali (penemu pusat paru jantung), Ibnu Rusyd (perintis ilmu jaringan tubuh), Ibnu Nafis (penemu peredaran darah paru-paru), dan Ibnu Khaldun (bapak sosiologi dan politik).
Syeikh Abdul Qadir Jaelani
Syeikh Abdul Qadir Jaelani
Nama tokoh ini bagi kebanyakan Muslim tak asing lagi. Apalagi di dunia sufisme dan tarekat, dia dinilai sebagai salah seorang pengembang aliran tarekat Islam, yakni tarekat Qadiriyah, yang kini banyak diikuti Muslim di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Dia adalah Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Beberapa kalangan kerap kali juga menyebut pendiri tarekat Qadiriyah ini sebagai tokoh spiritual yang mencapai derajat wali sehingga banyak cerita atau hikayat yang menempatkan dirinya dalam posisi amat istimewa, luar biasa dan penuh kekeramatan.
Dilahirkan di Gilan atau Jailan di selatan Laut Kaspia, Persia (kini Iran) pada 1 Ramadhan 470 H (1077 M), ia bernama lengkap Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir. Kata "Jailani" di belakang nama Syeikh Qadir tampaknya merujuk pada kampung kelahirannya. Ayahnya bernama Abu Shaleh, seorang yang taat kepada Allah dan memiliki hubungan keturunan dengan Imam Hasan, putra sulung Sayyidina Imam Ali ra (saudara sepupu Nabi SAW) dengan Fatimah, anak perempuan Rasulullah.
Sedangkan ibunya adalah putri Abdullah, Shaumayya, wanita yang begitu taat menjalankan agama, merupakan keturunan Imam Husain, anak Imam Ali dengan Fatimah. Dengan demikian, Syeikh Abdul Qadir, yang di kalangan Muslim Indonesia dikenal dengan sebutan Syeikh Dul Kadir ini adalah anak keturunan Hasan dan Husain, yang secara tak langsung masih memiliki keturunan nasab dengan Rasulullah SAW.
Sejak kecil, Syeikh Dul Kadir dikenal sebagai anak yang pendiam, mempunyai etika dan sopan santun yang tinggi. Di usia dini itu, ia kerap kali termenung dan sangat cenderung kepada dunia mistik (pengalaman keruhanian). Menginjak usia 18 tahun, terlihat betapa Syeikh Dul Kadir sangat tamak terhadap ilmu dan ingin selalu bersama-sama dengan orang-orang shaleh. Kondisi inilah yang mendorong dirinya di usia muda untuk berkelana ke negeri pusat ilmu kala itu, yakni Baghdad (Irak).
Tokoh ini kehilangan ayahnya pada usia muda. Ia kemudian dipelihara dan dididik kakeknya hingga usia 17 tahun. Pada usia itu, ia dikirim ke Baghdad untuk menimba ilmu yang lebih tinggi. Di Baghdad, Syeikh Dul Kadir menjadi murid kesayangan Abu Zakaria Tabrezi, rektor Jamiat Nizhamiah, salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka saat itu. Delapan tahun menuntut ilmu di perguruan itu, Syeikh Dul Kadir berhasil menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Otaknya yang cerdas dan ingatan yang kuat membuat ia jadi salah satu lulusan terbaik sekolah tersebut. Setelah menguasai perbendaharaan ilmu, Syeikh Dul Kadir tertarik melakukan pelatihan ruhani. Ia pun menjadi murid Syeikh Abu Said Mukhzumi, orang shaleh termasyhur pada masa itu. Tampaknya perpaduan dua perguruan, pemikiran dan ruhani tersebut, membuat Syeikh Dul Kadir mampu menjadi salah seorang ulama yang disegani di Baghdad.
Dalam buku Menyingkap Rahasia Keghaiban Hati disebutkan, sebagian kalangan Muslim saat itu menjuluki dirinya dengan sebutan Ghautsul A'zham (wali Allah yang paling agung). Menurut pemahaman para sufi, "Ghauts" berada di bawah peringkat para nabi dalam derajat keruhanian dan dalam menyampaikan rahmat Allah kepada manusia.
Padahal tokoh ini sebenarnya lebih dari itu. Ia merupakan tokoh yang mampu memadukan syariat (ajaran agama) dan tarekat (spiritualisme) dalam kehidupan sehari-hari. Menengok kehidupannya di abad 11 Masehi yang penuh dengan pertentangan antara spiritualisme ekstrim Mansur Hallaj dan rasionalisme Muktazilah, maka keberhasilannya memadukan keduanya dalam praktik kehidupan merupakan prestasi puncak yang berhasil diraih seorang ulama. Kala itu, dunia Islam penuh dengan kekacauan dan pergolakan. Umat dan para pemimpinnya jatuh dalam dekadensi politik dan moralitas. Zaman emas khalifah Abbasiyah telah lampau. Kekhalifahan Islam jatuh ke tangan khalifah yang lemah, tenggelam dalam kehidupan mewah dan suka berfoya-foya.
Kefasihan Syeikh Dul Kadir dalam bertutur dan kekayaan batin yang dimiliki membuat setiap ceramah yang dilakukannya mampu menarik massa demikian besar. Tak kurang dari 70-80 ribu massa hadir setiap kali Syeikh Dul Kadir mengadakan pengajian. Tak hanya khayalak ramai hadir dalam setiap pengajiannya, namun juga pembesar bahkan khalifah Abbasiyah sendiri datang hanya untuk mendengarkan setiap ulasan ajaran Islam yang dibawakannya.
Hampir selama 40 tahun lamanya, Syeikh Dul Kadir membimbing masyarakat ramai lewat pengajian dan madrasah yang didirikannya. Pada usia 91 tahun, ia pun berpulang ke Rahmatullah dengan meninggalkan warisan tak ternilai. Dan putra-putrinya yang berjumlah banyak (20 putra dan 29 putri, menurut Ensiklopedi Indonesia, Red) meneruskan ajaran dan pelatihan ruhani yang pernah diajarkan Syeikh Dul Kadir.
Putra-putranya itulah bersama para muridnya yang akhirnya membentuk tarekat-tarekat dengan sebutan Qadiriyah, menisbatkan pada nama guru dan ayah mereka. Awalnya, tarekat ini berkembang pertama kali di Irak, Syria, Mesir, dan Yaman. Pada tahap berikutnya, tarekat ini menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Selain tertua, sampai sekarang tarekat ini dianggap paling banyak mendapat pengikut dibanding tarekat-tarekat lainnya.
Perjalanan panjang Syeikh Dul Kadir baru berakhir ketika atas kehendak Yang Mahakuasa, pendiri tarekat shufiyyah Al Qadiriyah ini dipanggil menghadap Sang Ilahi Rabbi pada 11 Rabiul Awwal 561 H (1166 M). Oleh para pengikutnya, tanggal wafatnya ini selalu dikenang dan mempunyai arti tersendiri. Bahkan di India dan Pakistan, hingga kini, tanggal tersebut dinamai dengan "Jiarwin Sharif." [republika.co.id]
Syaikh Baha'uddin Naqsyabandi
Syaikh Baha'uddin Naqsyabandi
Syaikh Naqsyabandi, Imam dari Thariqat Naqsyabandi yang tiada tandingannya. Beliau lahir pada tahun 1317 M, di desa Qasr al-'Arifan, di dekat Bukhara. Setelah beliau menguasai ilmu syari'ah pada usia muda 18 tahun, beliau tetap menemani Syaikh Muhammad Baba as-Samasi, yang merupakan seorang ahli hadits di Asia Tengah. Sepeninggal Syaikh-nya, beliau mengikuti Syaikh Amir Kulal, yang melanjutkan dan menyempurnakan pelatihannya baik dalam ilmu zhahir maupun bathin.
Murid-murid Syaikh Amir Kulal biasanya melakukan dzikr zahar (dengan suara keras) ketika duduk bersama, dan dzikir khafi (dalam hati) bilamana sedang sendirian. Walau tak pernah mengkritik ataupun keberatan, namun Syaikh Naqsyabandi lebih menyukai dzikir khafi. Mengenai hal ini, beliau berkata, "Terdapat dua cara berdzikir; satu khafi dan lainnya zahar. Saya memilih yang khafi karena dia lebih kuat dan oleh karenanya lebih disukai." Kemudian dzikir khafi inilah yang menjadi ciri pembeda Naqsybandiyya di antara thariqat-thariqat lainnya.
Syaikh Naqsyabandi melaksanakan ibadah Haji tiga kali, di mana setelah itu, beliau tinggal di Merv dan Bukhara. Menjelang akhir hayatnya, beliau kembali ke kampung halamannya, Qasr al-'Arifan. Pengajarannya dikutip di mana-mana dan namanya disebut oleh siapa saja. Pengunjung berdatangan dari berbagai penjuru untuk meminta nasihatnya. Mereka menerima pengajaran di sekolah dan masjidnya, suatu kompleks yang dapat menampung lebih dari lima ribu orang.
Sekolah ini merupakan pusat studi Islam yang terbesar di Asia Tengah dan masih ada hingga saat ini. Baru-baru ini bangunan tersebut direnovasi dan dibuka kembali setelah bertahan selama tujuh puluh tahun dalam masa pemerintahan komunis. Pengajaran Syaihh Naqsyabandi mengubah hati para muridnya dari kegelapan hingga menemukan cahaya. Beliau terus mengajarkan ilmu tentang Ke-Esaan Allah yang telah dikhususkan oleh para pendahulunya, dengan penekanan pada ihsan bagi para pengikutnya sesuai hadits Rasulullah, "Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya."
Ketika Syaikh Naqsybandi wafat, beliau dimakamkan di kebunnya, sebagaimana permintaannya. Raja-raja penerus Bukhara merawat madrasah dan masjidnya. Mereka memperluas dan menambahkan waqafnya. Syaikh-Syaikh penerus Thariqat Naqsyabandi menuliskan banyak biografi tentang Syaikh Naqsyabandi. Salah satunya adalah Mas'ud al-Bukhari dan Syarif al-Jarjani, yang menyusun Awrad Baha'uddin yang menceritakan tentang kehidupan beliau dan karya-karyanya termasuk fatwanya.
Syaikh Muhammad Parsa, yang wafat di Madinah pada tahun 822 H (1419 M) menulis Risalah Qudsiyyah yang di dalamnya terdapat tulisan tentang kehidupan Syaikh Naqsyabandi, kehebatan-kehebatannya, serta pengajaran-pengajarannya. Tulisan-tulisan warisan Syaikh Naqsyabandi mencakup beberapa buku. Di antaranya adalah Awrad an-Naqsybandiyyah, wiridan Syaikh Naqsyabandi. Buku lainnya adalah Tanbih al-Ghafilin. Buku ketiga adalah Maslakul Anwar. Yang keempat adalah Hidayyatu-s-Salikan wa Tuhfat at-Talibin.
Beliau meninggalkan banyak pernyataan hormat memuji Rasulullah dan beliau pun menulis banyak aturan. Salah satu pendapatnya adalah bahwa semua jenis dan praktek peribadatan yang berbeda, baik yang wajib maupun sunnat, diperbolehkan bagi para muridnya dalam rangka mencapai kebenaran. Shalat, puasa, zakat, mujahadah (berusaha keras) dan zuhud (penyangkalan diri) ditekankan sebagai jalan menuju Allah Yang Maha Kuasa.
Syaikh Naqsyabandi membangun sekolahnya atas dasar pembaharuan pengajaran agama Islam. Beliau menggarisbawahi pentingnya mengamalkan al-Qur'an dan pengajaran Sunnah. Ketika mereka bertanya kepada beliau, "Apa persyaratan bagi yang ingin mengikuti thariqatmu?" Beliau menjawab, "Mengikuti Sunnah Rasulullah." Beliau lalu melanjutkan, "Thariqat kami adalah sesuatu yang langka. Yang menjaga 'Urwat ul-Wutsqa, ikatan yang tak terputuskan, dan tak meminta apapun dari pengikutnya melainkan untuk selalu memegang teguh Sunnah yang murni dari Rasulullah SAW dan mengikuti jalan para Sahabat dalam ijtihad (usaha untuk Allah) mereka.
Sekolah Naqsyabandi merupakan jalan termudah dan paling sederhana bagi para murid untuk memahami tauhid. Dia mengharuskan pengikutnya untuk mencari peribadatan yang sempurna kepada Allah baik secara umum maupun pribadi dengan jalan melaksanakan adab Sunnah Rasulullah secara sempurna. Juga mendorong orang agar menjalankan jenis ibadah yang paling ketat ('azhima) dan untuk mengabaikan keringanan (rukhsah). Juga terbebas dari bias dan bid'ah.
Dia tak menuntut pemeluknya untuk terus-menerus berada dalam keadaan lapar dan terjaga. Begitulah Naqsyabandiyyah telah mengatur agar tetap terpelihara dari pengaruh-pengaruh orang yang kurang faham dan orang yang pura-pura mengetahui banyak hal (musya'wazan). Ringkasnya, bisa dikatakan bahwa thariqat Naqsybandiyyah adalah ibu dari semua thariqat dan penunjuk bagi seluruh kepercayaan spiritual. Inilah jalan yang paling aman, paling bijak, serta paling jelas. Inilah maqam pelepas dahaga termurni, saripati yang tersuling. Naqsybandiyyah tak ada hubungannya dengan serangan apapun karena menjalankan Sunnah Rasulullah tercinta." (imma)
Syaikh Baha'uddin Naqsyabandi
Syaikh Naqsyabandi, Imam dari Thariqat Naqsyabandi yang tiada tandingannya. Beliau lahir pada tahun 1317 M, di desa Qasr al-'Arifan, di dekat Bukhara. Setelah beliau menguasai ilmu syari'ah pada usia muda 18 tahun, beliau tetap menemani Syaikh Muhammad Baba as-Samasi, yang merupakan seorang ahli hadits di Asia Tengah. Sepeninggal Syaikh-nya, beliau mengikuti Syaikh Amir Kulal, yang melanjutkan dan menyempurnakan pelatihannya baik dalam ilmu zhahir maupun bathin.
Murid-murid Syaikh Amir Kulal biasanya melakukan dzikr zahar (dengan suara keras) ketika duduk bersama, dan dzikir khafi (dalam hati) bilamana sedang sendirian. Walau tak pernah mengkritik ataupun keberatan, namun Syaikh Naqsyabandi lebih menyukai dzikir khafi. Mengenai hal ini, beliau berkata, "Terdapat dua cara berdzikir; satu khafi dan lainnya zahar. Saya memilih yang khafi karena dia lebih kuat dan oleh karenanya lebih disukai." Kemudian dzikir khafi inilah yang menjadi ciri pembeda Naqsybandiyya di antara thariqat-thariqat lainnya.
Syaikh Naqsyabandi melaksanakan ibadah Haji tiga kali, di mana setelah itu, beliau tinggal di Merv dan Bukhara. Menjelang akhir hayatnya, beliau kembali ke kampung halamannya, Qasr al-'Arifan. Pengajarannya dikutip di mana-mana dan namanya disebut oleh siapa saja. Pengunjung berdatangan dari berbagai penjuru untuk meminta nasihatnya. Mereka menerima pengajaran di sekolah dan masjidnya, suatu kompleks yang dapat menampung lebih dari lima ribu orang.
Sekolah ini merupakan pusat studi Islam yang terbesar di Asia Tengah dan masih ada hingga saat ini. Baru-baru ini bangunan tersebut direnovasi dan dibuka kembali setelah bertahan selama tujuh puluh tahun dalam masa pemerintahan komunis. Pengajaran Syaihh Naqsyabandi mengubah hati para muridnya dari kegelapan hingga menemukan cahaya. Beliau terus mengajarkan ilmu tentang Ke-Esaan Allah yang telah dikhususkan oleh para pendahulunya, dengan penekanan pada ihsan bagi para pengikutnya sesuai hadits Rasulullah, "Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya."
Ketika Syaikh Naqsybandi wafat, beliau dimakamkan di kebunnya, sebagaimana permintaannya. Raja-raja penerus Bukhara merawat madrasah dan masjidnya. Mereka memperluas dan menambahkan waqafnya. Syaikh-Syaikh penerus Thariqat Naqsyabandi menuliskan banyak biografi tentang Syaikh Naqsyabandi. Salah satunya adalah Mas'ud al-Bukhari dan Syarif al-Jarjani, yang menyusun Awrad Baha'uddin yang menceritakan tentang kehidupan beliau dan karya-karyanya termasuk fatwanya.
Syaikh Muhammad Parsa, yang wafat di Madinah pada tahun 822 H (1419 M) menulis Risalah Qudsiyyah yang di dalamnya terdapat tulisan tentang kehidupan Syaikh Naqsyabandi, kehebatan-kehebatannya, serta pengajaran-pengajarannya. Tulisan-tulisan warisan Syaikh Naqsyabandi mencakup beberapa buku. Di antaranya adalah Awrad an-Naqsybandiyyah, wiridan Syaikh Naqsyabandi. Buku lainnya adalah Tanbih al-Ghafilin. Buku ketiga adalah Maslakul Anwar. Yang keempat adalah Hidayyatu-s-Salikan wa Tuhfat at-Talibin.
Beliau meninggalkan banyak pernyataan hormat memuji Rasulullah dan beliau pun menulis banyak aturan. Salah satu pendapatnya adalah bahwa semua jenis dan praktek peribadatan yang berbeda, baik yang wajib maupun sunnat, diperbolehkan bagi para muridnya dalam rangka mencapai kebenaran. Shalat, puasa, zakat, mujahadah (berusaha keras) dan zuhud (penyangkalan diri) ditekankan sebagai jalan menuju Allah Yang Maha Kuasa.
Syaikh Naqsyabandi membangun sekolahnya atas dasar pembaharuan pengajaran agama Islam. Beliau menggarisbawahi pentingnya mengamalkan al-Qur'an dan pengajaran Sunnah. Ketika mereka bertanya kepada beliau, "Apa persyaratan bagi yang ingin mengikuti thariqatmu?" Beliau menjawab, "Mengikuti Sunnah Rasulullah." Beliau lalu melanjutkan, "Thariqat kami adalah sesuatu yang langka. Yang menjaga 'Urwat ul-Wutsqa, ikatan yang tak terputuskan, dan tak meminta apapun dari pengikutnya melainkan untuk selalu memegang teguh Sunnah yang murni dari Rasulullah SAW dan mengikuti jalan para Sahabat dalam ijtihad (usaha untuk Allah) mereka.
Sekolah Naqsyabandi merupakan jalan termudah dan paling sederhana bagi para murid untuk memahami tauhid. Dia mengharuskan pengikutnya untuk mencari peribadatan yang sempurna kepada Allah baik secara umum maupun pribadi dengan jalan melaksanakan adab Sunnah Rasulullah secara sempurna. Juga mendorong orang agar menjalankan jenis ibadah yang paling ketat ('azhima) dan untuk mengabaikan keringanan (rukhsah). Juga terbebas dari bias dan bid'ah.
Dia tak menuntut pemeluknya untuk terus-menerus berada dalam keadaan lapar dan terjaga. Begitulah Naqsyabandiyyah telah mengatur agar tetap terpelihara dari pengaruh-pengaruh orang yang kurang faham dan orang yang pura-pura mengetahui banyak hal (musya'wazan). Ringkasnya, bisa dikatakan bahwa thariqat Naqsybandiyyah adalah ibu dari semua thariqat dan penunjuk bagi seluruh kepercayaan spiritual. Inilah jalan yang paling aman, paling bijak, serta paling jelas. Inilah maqam pelepas dahaga termurni, saripati yang tersuling. Naqsybandiyyah tak ada hubungannya dengan serangan apapun karena menjalankan Sunnah Rasulullah tercinta." (imma)
Rabiah Al Adawiyah
Rabiah Al Adawiyah
"Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mendambakan surga. Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku."
Ratusan tahun lalu sufi besar, Rabiah Al Adawiyah, mengungkapkan kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep 'Mahabbah'-nya itu. Bukan apa-apa, memang. Bagi Rabiah, ibadah dilakoninya semata kasih sayang Tuhan kepada dirinya. Kasih sayang itu, kata Rabiah, mutiara paling berharga bagi manusia, jika saja manusia itu mengetahui rahasia di baliknya.
Dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 713 M, Rabiah Basri, atau lebih dikenal dengan nama Rabiah Al Adawiyah, berasal dari keluarga yang hina dina. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Begitu pula ketiga kakaknya, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak seberapa. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya.
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis sejak itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah SWT. Berdoa dan berdzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus 'akhirat', ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basrah dan seorang suci-mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik menyudahi masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M, dalam usia 88 tahun.
Dalam perjalanan kesufiannya, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being).
Tak heran jika ia 'merendahkan manusia' dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal. Menjadi sufi dalam perjalanan Rabiah adalah ''berlalu dari sekadar Ada menjadi Benar-benar Ada''. Dan Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna.
Karena cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Itu sebabnya, Rabiah dipandang sebagai pelopor model tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada "Kekasih" (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul illah (mencintai tuhan Allah SWT). Bagi Rabiah, mahabbah tak lain sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperolehnya setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud (tapa) ke tingkat ridha (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya betul-betul hanya untuk Allah SWT.
Di mata Rabiah, dorongan mahabbah kepada Allah SWT berasal dari dirinya, juga lantaran hak Allah untuk dipuja dan dicinta. Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan cinta kasih Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya. Lantaran ini pula, puisi-puisi mahabbah kepada Allah yang banyak diciptakan sufi-sufi masyhur, seringkali dinisbahkan kepadanya.
Dengan pengembaraannya yang bagai tak bertepi dalam mengarungi dunia mistik itu, oleh banyak kalangan pengamal tarekat dan tasawuf Rabiah digolongkan sosok sufi yang fenomenal. Letak fenomenal seorang Rabiah, selain pada keyakinannya bahwa segala cinta hanya milik Allah, juga lantaran kerendah-hatian dirinya.
Soal kasih sayang Allah tadi misalnya, membuat dirinya tidak membenci setan. "Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan," jawab Rabiah ketika suatu kali ia ditanya apakah dirinya benci kepada setan.
Bukti cinta Rabiah yang begitu besar melampaui batas-batas segalanya, di antaranya terlihat dalam syairnya yang masyhur berikut :
"Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mu lah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku; hatiku enggan mencintai selain Engkau."
Suatu hari, Sufyan Tsauri datang kepada Rabiah. Di depan dirinya, Sufyan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa, "Tuhan Yang Mahakuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu." Mendengar doa itu, Rabiah kontak menangis. Ditanya mengapa dirinya menangis, Rabiah menjawab, "Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat Anda hanya mencarinya di dunia saja."
Sementara itu, di saat lain, terbetik kabar seseorang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan menengadahkan tangannya ke atas, "Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, sekalipun Kau-lah pencipta dunia ini. Lantas bagaimana aku menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?"
Tak hanya bagaimana kerendahan dan ketakberdayaan seorang hamba ia tunjukkan di hadapan Tuhannya, Rabiah juga senantiasa mengajarkan sifat dan sikap kerendah-hatian dan tawadhu kepada murid-muridnya.
Ia juga melarang para muridnya itu menunjukkan perbuatan baik mereka kepada siapa pun. Bahkan, Rabiah meminta murid-muridnya itu untuk menyembunyikan perbuatan baik mereka, sebagaimana menutupi-nutupi perbuatan jahat mereka.
Bagi Rabiah, segala penyakit dilihatnya sebagai cobaan yang datang dari Allah. Terhadap masalah ini, Rabiah selalu memikul setiap cobaan yang datang itu dengan penuh tabah dan kesabaran. Rasa sakit yang dahsyat sekalipun, tidak pernah mengganggunya dari perhatian dan pengabdiannya kepada Tuhannya. Bahkan, sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya terluka sampai ia diberitahu orang lain.
Suatu saat misalnya, kepalanya terbentur batang pohon hingga berdarah. Seseorang yang melihat darah bercucuran itu, dengan hati-hati bertanya, "Apakah Anda tidak merasa sakit?"
"Aku dengan segala ragaku mengabdi kepada Allah SWT. Aku berhubungan erat dengan-Nya, aku disibukkan-Nya dengan hal-hal lain daripada hal-hal yang pada umumnya kalian rasakan," jawab Rabiah.
Sekalipun penuh liku, banyak kalangan mengakui kehidupan Rabiah tak sedikit menyisakan keajaiban, yakni keajaiban milik orang-orang suci. Rabiah misalnya, mendapatkan makanan dari tamu-tamunya dengan cara yang aneh-aneh. Disebutkan, ketika Rabiah menghadapi maut, ia minta kepada teman-temannya untuk meninggalkannya.
Rabiah lalu menyilakan para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman Rabiah keluar itu, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadat, lantas terdengar suara menjawab, "Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya. Ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya."
"Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mendambakan surga. Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku."
Ratusan tahun lalu sufi besar, Rabiah Al Adawiyah, mengungkapkan kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep 'Mahabbah'-nya itu. Bukan apa-apa, memang. Bagi Rabiah, ibadah dilakoninya semata kasih sayang Tuhan kepada dirinya. Kasih sayang itu, kata Rabiah, mutiara paling berharga bagi manusia, jika saja manusia itu mengetahui rahasia di baliknya.
Dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 713 M, Rabiah Basri, atau lebih dikenal dengan nama Rabiah Al Adawiyah, berasal dari keluarga yang hina dina. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Begitu pula ketiga kakaknya, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak seberapa. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya.
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis sejak itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah SWT. Berdoa dan berdzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus 'akhirat', ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basrah dan seorang suci-mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik menyudahi masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M, dalam usia 88 tahun.
Dalam perjalanan kesufiannya, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being).
Tak heran jika ia 'merendahkan manusia' dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal. Menjadi sufi dalam perjalanan Rabiah adalah ''berlalu dari sekadar Ada menjadi Benar-benar Ada''. Dan Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna.
Karena cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Itu sebabnya, Rabiah dipandang sebagai pelopor model tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada "Kekasih" (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul illah (mencintai tuhan Allah SWT). Bagi Rabiah, mahabbah tak lain sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperolehnya setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud (tapa) ke tingkat ridha (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya betul-betul hanya untuk Allah SWT.
Di mata Rabiah, dorongan mahabbah kepada Allah SWT berasal dari dirinya, juga lantaran hak Allah untuk dipuja dan dicinta. Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan cinta kasih Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya. Lantaran ini pula, puisi-puisi mahabbah kepada Allah yang banyak diciptakan sufi-sufi masyhur, seringkali dinisbahkan kepadanya.
Dengan pengembaraannya yang bagai tak bertepi dalam mengarungi dunia mistik itu, oleh banyak kalangan pengamal tarekat dan tasawuf Rabiah digolongkan sosok sufi yang fenomenal. Letak fenomenal seorang Rabiah, selain pada keyakinannya bahwa segala cinta hanya milik Allah, juga lantaran kerendah-hatian dirinya.
Soal kasih sayang Allah tadi misalnya, membuat dirinya tidak membenci setan. "Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan," jawab Rabiah ketika suatu kali ia ditanya apakah dirinya benci kepada setan.
Bukti cinta Rabiah yang begitu besar melampaui batas-batas segalanya, di antaranya terlihat dalam syairnya yang masyhur berikut :
"Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mu lah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku; hatiku enggan mencintai selain Engkau."
Suatu hari, Sufyan Tsauri datang kepada Rabiah. Di depan dirinya, Sufyan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa, "Tuhan Yang Mahakuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu." Mendengar doa itu, Rabiah kontak menangis. Ditanya mengapa dirinya menangis, Rabiah menjawab, "Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat Anda hanya mencarinya di dunia saja."
Sementara itu, di saat lain, terbetik kabar seseorang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan menengadahkan tangannya ke atas, "Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, sekalipun Kau-lah pencipta dunia ini. Lantas bagaimana aku menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?"
Tak hanya bagaimana kerendahan dan ketakberdayaan seorang hamba ia tunjukkan di hadapan Tuhannya, Rabiah juga senantiasa mengajarkan sifat dan sikap kerendah-hatian dan tawadhu kepada murid-muridnya.
Ia juga melarang para muridnya itu menunjukkan perbuatan baik mereka kepada siapa pun. Bahkan, Rabiah meminta murid-muridnya itu untuk menyembunyikan perbuatan baik mereka, sebagaimana menutupi-nutupi perbuatan jahat mereka.
Bagi Rabiah, segala penyakit dilihatnya sebagai cobaan yang datang dari Allah. Terhadap masalah ini, Rabiah selalu memikul setiap cobaan yang datang itu dengan penuh tabah dan kesabaran. Rasa sakit yang dahsyat sekalipun, tidak pernah mengganggunya dari perhatian dan pengabdiannya kepada Tuhannya. Bahkan, sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya terluka sampai ia diberitahu orang lain.
Suatu saat misalnya, kepalanya terbentur batang pohon hingga berdarah. Seseorang yang melihat darah bercucuran itu, dengan hati-hati bertanya, "Apakah Anda tidak merasa sakit?"
"Aku dengan segala ragaku mengabdi kepada Allah SWT. Aku berhubungan erat dengan-Nya, aku disibukkan-Nya dengan hal-hal lain daripada hal-hal yang pada umumnya kalian rasakan," jawab Rabiah.
Sekalipun penuh liku, banyak kalangan mengakui kehidupan Rabiah tak sedikit menyisakan keajaiban, yakni keajaiban milik orang-orang suci. Rabiah misalnya, mendapatkan makanan dari tamu-tamunya dengan cara yang aneh-aneh. Disebutkan, ketika Rabiah menghadapi maut, ia minta kepada teman-temannya untuk meninggalkannya.
Rabiah lalu menyilakan para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman Rabiah keluar itu, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadat, lantas terdengar suara menjawab, "Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya. Ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya."
Muhammad Ar Razi
Muhammad Ar Razi
Muhammad Ar Razi adalah salah satu putera mahkota intelektualisme Islam. Selain Ibnu Sina (Avicenna) yang dikenal sebagai perintis awal ilmu kedokteran, Muhammad bin Zakaria Ar Razi (lebih dikenal dengan nama Ar Razi) juga menduduki derajat sebagai perintis kedokteran modern.
Dilahirkan di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada 846 M (wafat di kota yang sama pada 925 M), Ar Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar Razi itu sejak kecil telah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan.
Namun demikian, ia yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat, sebenarnya baru tertarik dan menekuni secara serius masalah-masalah kedokteran justru di usia tua. Hanya saja, meski keseriusannya terhadap disiplin ilmu yang satu ini telah ada sejak muda, kepakaran dan kejeniusan Ar Razi pada bidang kedokteran jauh melampaui dari keahliannya di masa tua. Hal inilah yang menempatkan dirinya pada deretan ilmuwan Muslim yang sangat disegani dan dihormati dunia Barat. Sebagian ahli sejarah menyebutkan, Ar Razi sebenarnya telah menggeluti filsafat, kimia, matematika, dan kesastraan sejak muda.
Mengutip ahli sejarah Ibnu Khallikan, seorang penulis biografi Barat, AJ Aberry, dalam pengantar buku Ar Razi, The Spiritual Physic of Rhazes (Penyembuhan Ruhani), menulis, "Di masa mudanya, ia gemar main kecapi dan menekuni musik vokal. Namun ketika beranjak dewasa, dia meninggalkan hobinya ini seraya mengatakan bahwa musik yang berasal dari antara kumis dan jenggot tidak punya daya tarik dan pesona untuk dipuji serta dikagumi."
Sejak inilah, beberapa sumber menyebutkan Ar Razi lebih banyak memfokuskan dirinya pada tradisi intelektualisme di sekitar filsafat, logika, eksakta, dan kedokteran. Yang terakhir ini, seperti disinggung di atas, mendapat porsi khusus dari energinya di usia tua. Pada bidang ini, ia sampai meluangkan waktu khusus ke Baghdad, Irak, guna memperdalam kedokteran.
Kala itu, Baghdad dikenal pada puncak keemasan intelektualisme. Baghdad yang kala itu menjadi pusat pemerintahan imperium Bani Abbasiyah, semakin menegaskan diri sebagai pusat ilmu pengetahuan, khususnya ketika tahta kekuasaan diperintah oleh Khalifah Al Manshur (754-775 M), Harun Al Rasyid (wafat 809 M), hingga Khalifah Al Makmun (813-833 M). Di kota Baghdad ini, Ar Razi berguru pada Humayun Ibnu Ishaq, seorang ulama yang menguasai ilmu pengobatan dengan baik.
Dari guru yang telah lama berpraktik di bidang pengobatan inilah, Ar Razi menguasai dengan baik dasar-dasar teknik pengobatan. Sekembali dari Baghdad, Ar Razi memutuskan untuk membaktikan dirinya pada masyarakat, khususnya pada bidang yang selama ini ia tekuni, kedokteran. Dalam waktu tak lama, lantaran kepakarannya, ia memperoleh perhatian khusus dari penguasa setempat.
Karena reputasi dan kelebihannya itulah pemerintah kemudian memutuskan memberi amanat pada dirinya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Teheran. Selain menjadi dokter, tokoh yang dikenal pula dengan kerendahan hatinya ini tak kurang mengoptimalkan pengabdiannya dengan mengajar. Tercatat, para mahasiswanya tak hanya berdatangan dari berbagai penjuru dunia Islam, tapi juga dari negara-negara Barat. Setiap kuliahnya selalu dipadati para mahasiswa.
Patut dicatat, Ar Razi menerapkan metode perkuliahan yang bisa dikata unik tapi sangat mendidik. Yakni perkuliahan diatur sedemikian rupa agar beberapa penceramah senior dan yunior dapat membahas berbagai macam pertanyaan yang mampu mereka jawab, dan hanya merujuk kepadanya jika persoalan-persoalan yang melampaui batas jangkauan pengetahuan mereka. Tampaknya, cara ini pula yang kini banyak dikembangkan di mayoritas universitas terkemuka di Barat dan sebagian di dunia Timur.
Dalam perjalanan karirnya ini pula, tokoh yang di Barat dikenal dengan nama Rhazes ini harus meninggalkan pengabdiannya di kota kelahirannya untuk memenuhi penggilan penguasa Baghdad. Di kota ini, penguasa setempat mempercayai Ar Razi sebagai kepala rumah sakit di kota yang juga dikenal dengan sebutan "Kota Seribu Satu Malam" ini. Dengan demikian, selain memberikan teori-teorinya, Ar Razi juga langsung mempraktikkan ilmunya dalam perawatan pasien di berbagai rumah sakit di Teheran dan Baghdad.
Selama menekuni dunia pengobatan, Ar Razi dikenal memiliki reputasi luar biasa. Puluhan buku telah ia tulis. Melalui karya-karyanya itulah ia mengilhami kemajuan dan perkembangan kedokteran modern, khususnya di dunia Barat. Selama 35 tahun ia berpraktik pada disiplin ilmu tersebut, Ar Razi tak hanya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di Baghdad maupun di Rayy, Teheran. Tapi sekaligus juga daerah-daerah di luar kedua kota itu tak kurang ia kunjungi untuk pengabdian pada masyarakat setempat.
Di tengah-tengah keseriusan dan makin meningkatnya penguasaan ilmu kedokteran, Ar Razi yang makin tua usia terserang penyakit katarak hingga membuat matanya buta. Penglihatannya praktis tak berfungsi. Ketika ia dianjurkan untuk berbekam, konon Ar Razi menjawab, "Tidak, aku sudah demikian lama melihat seluruh dunia ini sehingga aku pun lelah karenanya."
Pengabdian dan kejeniusan Ar Razi ini diakui Barat. Banyak ilmuwan Barat menyebutnya sebagai pioner terbesar dunia Islam di bidang kedokteran. "Razhes merupakan tabib (dokter) terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar sepanjang sejarah," jelas Max Mayerhof.
Sementara sejarawan Barat terkenal, George Sarton mengomentari Ar Razi dengan cerdas sekali. Katanya, "Ar Razi dari Persia itu tidak hanya tabib terbesar dunia Islam dan Abad Pertengahan. Ia juga kimiawan dan fisikawan. Ia bisa dinyatakan sebagai salah seorang perintis latrokimia zaman Renaisans. Maju di bidang teori, ia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis." Maka pada tempatnya bila umat manusia, Barat khususnya, berutang budi dan mesti berterima kasih pada sosok ini. (hery sucipto)[republika.co.id]
Jafar al-Sadiq
Jafar al-Sadiq
cahaya ilmu yang dimiliki oleh Imam Jafar al-Sadiq, yang tak hanya menguasai ilmu keagamaan namun juga menguasai fisika, kimia, matematika, dan ilmu pengobatan.
Imam Jafar al-Sadiq adalah putra tertua Imam Muhamad Baqir yang merupakan ahlul bait Nabi Muhammad. Nama pendeknya adalah Jafar, namun kemudian ia dikenal pula dengan sebutan al-Sadiq dan Abu Abd Allah. Lalu ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Imam Jafar al-Sadiq. Ia lahir di Madinah, pada Senin, 17 Rabiul Awwal 83 H atau 20 April 702 M. Baik tanggal, hari dan bulan kelahiran Jafar al-Sadiq sama dengan masa kelahiran Nabi Muhammad.
Ibunya adalah Umm Farwah yang biasa dipanggil Fatimah, putri dari al-Qassim putra Muhammad bin Abu Bakar. Dengan demikian, Umm Farwah ini merupakan keturunan sahabat utama Nabi Muhammad, Abu Bakar Siddik. Pada saat kelahiran Jafar, ayahnya, Imam al-Baqir berusia 26 tahun dan kakeknya, Imam Zainal Abidin masih hidup. Hingga umur 12 tahun, Jafar mendapatkan tempaan ilmu ketuhanan dari kakeknya, Imam Zainal Abidin.
Setelah itu, hingga berumur 31 tahun ia mendapatkan bimbingan dari ayahnya sendiri, Imam al-Baqir yang mengajarkannya ilmu hadis. Untuk ilmu hadis, ia memiliki dua sumber pengetahuan yaitu dari ayahnya melalui Ali bin Abi Thalib dan kakek ibunya al-Qassim. Kemudian ia memperluas ilmu pengetahuan hadisnya dengan berguru pada ulama lainnya yaitu Urwa, Aata, Nafi, dan Zuhri. Dua sufyan yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan ibn Uyayna, Imam Malik, Imam Abu Hanifa, dan al-Qattan di kemudian hari banyak meriwayatkan hadis melalui dirinya demikian pula dengan ulama lainnya.
Ia juga dikenal sebagai mufasir Al-Qur'an, ahli hukum Islam, dan salah satu mujtahid terbesar di Madinah. Dengan keluasan ilmu agamanya, tak heran jika banyak kalangan yang belajar dari Jafar al-Sadiq seperti Abu Hanafi, pendiri mazhab Hanafi yang menimba ilmu darinya selama dua tahun dan menyatakan bahwa Jafar Sadiq memiliki ketinggian ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula dengan Imam Malik bin Anas yang merupakan pendiri mazhab Maliki. Tak ayal jika dikatakan bahwa Jafar Sadiq telah melahirkan ribuan ulama hadis dan sarjana agama.
Pengetahuannya tentang agama memang ia ajarkan ke semua orang bahkan kepada mereka yang datang dari negeri yang jauh. Jumlah muridnya suatu waktu mencapai empat ribu orang. Di antara mereka adalah ahli hukum Islam, tafsir, hadis dan sebagainya. Imam Jafar as-Sadiq juga dianugerahi Tuhan jiwa yang memesona yang menjadi model bagi orang lain. Banyak sifat yang dapat direkam oleh para sejarawan dari dirinya.
Ia adalah orang yang dermawan, sabar, pemaaf dan suka menolong orang lain. Suatu saat paceklik melanda Madinah, ia yang memiliki persediaan bahan makanan berupa gandum memang tak mengkhawatirkan hal itu. Namun kemudian, ia menjualnya dan menyatakan bahwa gandum tak akan digunakan di dapurnya dan kemudian tepung gandum ia bagikan kepada mereka yang memerlukannya. Pemimpin agama lain juga kerap datang untuk beradu argumentasi mengenai keyakinan yang mereka miliki. Ia selalu dapat mengalahkan mereka.
Ketika mereka pergi dengan menanggung kekalahan kemudian Imam Jafar Sadiq menceritakan kepada muridnya agar berhati-hati dengan titik lemah umat Islam terhadap agamanya. Kadangkala dia juga beradu argumentasi dengan orang-orang yang tak mempercayai keberadaan Tuhan. Kedalamannya dalam ilmu agama kemudian membuatnya merintis sebuah mazhab yang disebut Mazhab Jafariyah. Mazhab ini menempatkan Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam, kemudian sunnah, ijma, dan akal. Dalam menggali hukum dari Al-Qur'an mereka tidak harus berpegang pada makna lahirnya melainkan juga makna batinnya.
Selain agama dia juga mengajarkan fisika, matematika, kimia, maupun ilmu pengobatan. Jabir ibn Hayyan dari Tarus yang merupakan pionir dalam fisika, kimia, dan matematika adalah salah satu muridnya yang menuliskan tentang ratusan subjek kajian berdasarkan ajaran yang diberikan Jafar al-Sadiq. Penguasaan yang luas terhadap sejumlah ilmu itu memang didukung oleh kondisi di masa ia hidup. Kala itu, terjadi interaksi yang dalam antara pemikiran Islam dan ilmu pengetahuan serta orang-orang yang berasal dari bangsa lain.
Selama masa tersebut berbagai karya dari banyak sarjana dan pemikir secara luas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sains, filsafat, dan pemikiran dari bangsa lain terutama Yunani diterjemahkan dari bahasa aslinya ke dalam bahasa arab. Kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan tersebut, menambahkan, memperkaya dan memperluas cakupannya. Hasilnya, mewujudlah gerakan saintifik dan ideologi yang aktif. Kaum Muslim kemudian menguasai dengan baik ilmu pengobatan, astronomi, kimia, fisika, dan matematika dibandingkan lainnya.
Filsafat, logika, dan ilmu lainnya diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Persia. Selain adanya perkembangan saintifik dan kultural selama hidup Imam Jafar Sadiq, juga terdapat gerakan dalam berbagai bidang. Kejadian politik, ekonomi, dan sosial memerlukan pemecahan yang sesuai dengan hukum Islam. Hal ini menyebabkan munculnya pandangan lembaga pemikiran. sarjana atau ulama secara aktif terlibat dalam mencoba menemukan jawaban yang benar untuk menjawab permasalahan tersebut.
Dengan keadaan seperti itulah serta aktivitas kultural dan saintifik Imam Jafar Sadiq hidup dan memiliki tanggung jawab yang besar sebagai seorang ulama, guru dalam domain kultural dan agama. Seluruh hidupnya ia isi dengan mengajarkan ilmu yang dimiliki. Hingga ia memiliki kedudukan yang kuat di kalangan masyarakat tetapi ia tak tergiur untuk meraih kekuasaan. Namun popularitas Jafar al-Sadiq di kalangan masyarakat membuat penguasa Abbasid, Mansur Ad-Dawaniqi, merasa khawatir.
Kemudian membuat rencana untuk mengenyahkannya. Kalifah Abbasid sebelumnya, Abdul-Abbas al-Saffah, sebenarnya telah membawanya ke Irak, namun tak lama kemudian Jafar al-Sadiq dikembalikan lagi ke tanah kelahirannya, Madinah. Dan pada saat kekuasaan di tangan Mansur ad-Dawaniqi, dilakukan pengawasan ketat terhadap Jafar al-Sadiq.
Merasa tak puas, Mansur memerintahkan Gubernur Madinah, Muhammad bin Suleima, untuk membunuhnya dengan menggunakan racun. Dan ternyata usahanya berhasil. Imam Jafar Sadiq meninggal pada 15 Syawal 148 H atau 4 Desember 765 pada usia 65 tahun. Pemakamanya dipimpin oleh putranya Imam Musa al-Kazim. Jafar al-Sadiq dimakamkan di pemakaman Jannat al-Baqi di mana Imam Hasan, Imam Zainal Abidin dan Imam al-Baqir dimakamkan. [republika.co.id]
Jabir Ibn Hayyan
Jabir Ibn Hayyan
Jauh sebelum berkembang pesat seperti sekarang, ilmu kimia telah dikenal luas masyarakat abad pertengahan. Saat itulah awal mula cabang ilmu eksakta ini ada. Tapi, tahukah Anda siapa penemu dan pengembang ilmu kimia ini? Adalah Abu Musa Jabir Ibn Hayyan (721-815 H), ilmuwan Muslim pertama yang menemukan dan mengenalkan disiplin ilmu kimia tersebut.
Lahir di pusat peradaban Islam klasik, Kuffah (Irak), ilmuwan Muslim ini lebih dikenal dengan nama Ibnu Hayyan, dan di Barat disebut dengan nama Ibnu Geber. Ayahnya, seorang penjual obat, meninggal sebagai 'syuhada' demi penyebaran ajaran Syi'ah. Jabir kecil menerima pendidikannya dari raja bani Umayyah, Khalid ibnu Yazid ibnu Muawiyyah, dan imam terkenal, Jakfar Sadiq. Ia juga pernah berguru pada Barmaki Vizier pada masa kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Harun Al Rasyid.
Ditemukannya kimia oleh Hayyan ini membuktikan, bahwa ulama di masa lalu tidak melulu lihai dalam ilmu-ilmu agama, tapi sekaligus juga menguasai ilmu-ilmu umum. "Sesudah ilmu kedokteran, astronomi, dan matematika, bangsa Arab memberikan sumbangannya yang terbesar di bidang kimia," tulis sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of The Arabs.
Berkat penemuannya ini pula, Jabir dijuluki sebagai Bapak Kimia Modern. Dalam karirnya, ia pernah bekerja di laboratorium dekat Bawwabah di Damaskus. Jabir mendasari eksperimennya secara kuantitatif dan instrumen yang dibuatnya sendiri, menggunakan bahan berasal dari logam, tumbuhan, dan hewani. Adalah menjadi kebiasaannya mengakhiri uraian suatu eksperimen dengan menuliskan : ''Saya pertama kali mengetahuinya dengan melalui tangan dan otak saya, dan saya menelitinya hingga sebenar mungkin, dan saya mencari kesalahan yang mungkin masih terpendam.'' Dari Damaskus ia kembali ke kota kelahirannya, Kuffah. Setelah 200 tahun kewafatannya, ketika penggalian tanah dilakukan untuk pembuatan jalan, laboratoriumnya yang telah punah, ditemukan. Di dalamnya didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona, dan sebatang emas yang cukup berat."
Jabir ibnu Hayyan membuat instrumen pemotong, peleburan dan pengkristalan. Ia menyempurnakan proses dasar sublimasi, penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan, pemurnian, sematan (fixation), amalgamasi, dan oksidasi-reduksi. Semua ini telah ia siapkan tekniknya, praktis hampir semua 'technique' kimia modern. Ia membedakan antara penyulingan langsung yang memakai bejana basah dan tak langsung yang memakai bejana kering. Dialah yang pertama mengklaim bahwa air hanya dapat dimurnikan melalui proses penyulingan.
Khusus menyangkut fungsi dua ilmu dasar kimia, yakni kalsinasi dan reduksi, Jabir menjelaskan, bahwa untuk mengembangkan kedua dasar ilmu itu, pertama yang harus dilakukan adalah mendata kembali dengan metoda-metoda yang lebih sempurna, yakni metoda penguapan, sublimasi, destilasi, penglarutan, dan penghabluran. Setelah itu, papar Jabir, memodifikasi dan mengoreksi teori Aristoteles mengenai dasar logam, yang tetap tidak berubah sejak awal abad ke 18 M. Dalam setiap karyanya, Jabir melaluinya dengan terlebih dahulu melakukan riset dan eksperimen. Metode inilah yang mengantarkannya menjadi ilmuwan besar Islam yang mewarnai renaissance dunia Barat.
Namun demikian, Jabir tetap saja seorang yang tawadu' dan berkepribadian mengagumkan. "Dalam mempelajari kimia dan ilmu fisika lainnya, Jabir memperkenalkan eksperimen objektif, suatu keinginan memperbaiki ketidakjelasan spekulasi Yunani. Akurat dalam pengamatan gejala, dan tekun mengumpulkan fakta. Berkat dirinya, bangsa Arab tidak mengalami kesulitan dalam menyusun hipotesa yang wajar," tulis Robert Briffault.
Menurut Briffault, kimia, proses pertama penguraian logam yang dilakukan oleh para metalurg dan ahli permata Mesir, mengkombinasikan logam dengan berbagai campuran dan mewarnainya, sehingga mirip dengan proses pembuatan emas. Proses demikian, yang tadinya sangat dirahasiakan, dan menjadi monopoli perguruan tinggi, dan oleh para pendeta disamarkan ke dalam formula mistik biasa, di tangan Jabir bin Hayyan menjadi terbuka dan disebarluaskan melalui penyelidikan, dan diorganisasikan dengan bersemangat.
Terobosan Jabir lainnya dalam bidang kimia adalah preparasi asam sendawa, hidroklorik, asam sitrat dan asam tartar. Penekanan Jabir di bidang eksperimen sistematis ini dikenal tak ada duanya di dunia. Inilah sebabnya, mengapa Jabir diberi kehormatan sebagai 'Bapak Ilmu Kimia Modern' oleh sejawatnya di seluruh dunia. Dalam tulisan Max Mayerhaff, bahkan disebutkan, jika ingin mencari akar pengembangan ilmu kimia di daratan Eropa, maka carilah langsung ke karya-karya Jabir Ibn Hayyan.
Puaskah Jabir? Tidak! Ia terus mengembangkan keilmuannya sampai batas tak tertentu. Dalam hal teori keseimbangan misalnya, diakui para ilmuwan modern sebagai terobosan baru dalam prinsip dan praktik alkemi dari masa sebelumnya. Sangat spekulatif, di mana Jabir berusaha mengkaji keseimbangan kimiawi yang ada di dalam suatu interaksi zat-zat berdasarkan sistem numerologi (studi mengenai arti klenik dari sesuatu dan pengaruhnya atas hidup manusia) yang diterapkannya dalam kaitan dengan alfabet 28 huruf Arab untuk memperkirakan proporsi alamiah dari produk sebagai hasil dari reaktan yang bereaksi. Sistem ini niscaya memiliki arti esoterik, karena kemudian telah menjadi pendahulu penulisan jalannya reaksi kimia.
Jelas dengan ditemukannya proses pembuatan asam anorganik oleh Jabir telah memberikan arti penting dalam sejarah kimia. Di antaranya adalah hasil penyulingan tawas, amonia khlorida, potasium nitrat dan asam sulferik. Pelbagai jenis asam diproduksi pada kurun waktu eksperimen kimia yang merupakan bahan material berharga untuk beberapa proses industrial. Penguraian beberapa asam terdapat di dalam salah satu manuskripnya berjudul Sandaqal-Hikmah (Rongga Dada Kearifan).
Seluruh karya Jabir ibnu Hayyan lebih dari 500 studi kimia, tetapi hanya beberapa yang sampai pada zaman Renaissance. Korpus studi kimia Jabir mencakup penguraian metode dan peralatan dari pelbagai pengoperasian kimiawi dan fisikawi yang diketahui pada zamannya. Di antara bukunya yang terkenal adalah Al Hikmah Al Falsafiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul Summa Perfectionis.
Suatu pernyataan dari buku ini mengenai reaksi kimia adalah : "Air raksa (merkuri) dan belerang (sulfur) bersatu membentuk satu produk tunggal, tetapi adalah salah menganggap bahwa produk ini sama sekali baru dan merkuri serta sulfur berubah keseluruhannya secara lengkap.
Yang benar adalah bahwa keduanya mempertahankan karakteristik alaminya, dan segala yang terjadi adalah sebagian dari kedua bahan itu berinteraksi dan bercampur, sedemikian rupa sehingga tidak mungkin membedakannya secara seksama. Jika dihendaki memisahkan bagian-bagian terkecil dari dua kategori itu oleh instrumen khusus, maka akan tampak bahwa tiap elemen (unsur) mempertahankan karakteristik teoretisnya. Hasilnya adalah suatu kombinasi kimiawi antara unsur yang terdapat dalam keadaan keterkaitan permanen tanpa perubahan karakteristik dari masing-masing unsur."
Ide-ide eksperimen Jabir itu sekarang lebih dikenal/dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada bahan metal, nonmetal dan penguraian zat kimia. Dalam bidang ini, ia merumuskan tiga tipe berbeda dari zat kimia berdasarkan unsur-unsurnya : 1) Air (spirits), yakni yang mempengaruhi penguapan pada proses pemanasan, seperti pada bahan camphor, arsenik dan amonium klorida, 2) Metal, seperti pada emas, perak, timah, tembaga, besi, dan 3) Bahan campuran, yang dapat dikonversi menjadi semacam bubuk. Dengan prestasinya itu, dunia ilmu pengetahuan modern pantas 'berterima kasih' padanya.
Di abad pertengahan risalah-risalah Jabir di bidang ilmu kimia --termasuk kitabnya yang masyhur, yakni Kitab Al-Kimya dan Kitab Al-Sab'een, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Terjemahan Kitab Al-Kimya bahkan telah diterbitkan oleh ilmuwan Inggris, Robert Chester tahun 1444, dengan judul //The Book of the Composition of Alchemy. Buku kedua (Kitab Al-Sab'een), diterjemahkan juga oleh Gerard Cremona.
Berikutnya di tahun 1678, seorang Inggris lainnya, Richard Russel, mengalihbahasakan karya Jabir yang lain dengan judul Summa of Perfection. Berbeda dengan pengarang sebelumnya, Richard-lah yang pertama kali menyebut Jabir dengan sebutan Geber, dan memuji Jabir sebagai seorang pangeran Arab dan filsuf. Buku ini kemudian menjadi sangat populer di Eropa selama beberapa abad lamanya. Dan telah pula memberi pengaruh pada evolusi ilmu kimia modern.
Karya lainnya yang telah diterbitkan adalah; Kitab al Rahmah, Kitab al Tajmi, Al Zilaq al Sharqi, Book of The Kingdom, Book of Eastern Mercury, dan Book of Balance (ketiga buku terakhir diterjemahkan oleh Berthelot). "Di dalamnya kita menemukan pandangan yang sangat mendalam mengenai metode riset kimia," tulis George Sarton. [republika.co.id]
Imam Tirmizi
Imam Tirmizi
Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok ini sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami', atau biasa dikenal dengan kitab Jami' Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu' dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri : Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni', dan lainnya.
Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.
Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami' daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata : Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya.
Saya mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu.
Kemudian ia membacakan Hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan ini, ia berkata, 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya.
'Coba bacakan!,' suruhnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' 'Tidak,' jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi.' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, 'Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.'
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami'.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut :
"Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda : Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Bagaimana penjelasan sang Imam? "Sebagian ahli ilmu berkata : 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.'
Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: 'Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).
Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'," demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya : Kitab Al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma' wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami' Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab sejenis lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata : "Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga Hadits, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma' ulama menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami' atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta'lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta'lil Hadits tersebut.[republika.co.id]
Imam Syafi'i
Imam Syafi'i
Ummat Islam sangat beruntung pernah memiliki ulama sekaligus perawi hadits yang sangat disegani itu. Dialah Imam Syafi'i. Saat berusia sembilan tahun, seluruh ayat Al-Qur'an dihafalnya dengan lancar (bahkan ia sempat 16 kali khatam Al-Qur'an, dalam perjalanannya antara Makkah dan Madinah). Setahun kemudian, isi kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya tanpa cacat.
Kecerdasan membuat dirinya dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Mekah, sebuah jabatan prestisius untuk ukuran masa itu. Kendati demikian, Imam Syafi'i yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi'i tak pernah merasa puas menuntut ilmu. Bagi Imam Syafi'i, panggilan terkenalnya, semakin dalam menekuni sebuah ilmu, semakin banyak yang ia belum mengerti. Karena itu, tak heran guru dari Imam Syafi'i demikian banyak, sama banyaknya dengan para muridnya.
Lahir di Gaza, Palestina pada 150 H/767 M (w. Cairo, 20 Januari 820), Imam Syafii hidup di masa Kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunan bertemu di Abdul Manaf, kakek ketiga Rasulullah. Dari ibunya, ia cicit Ali bin Abi Thalib.
Semasa dalam kandungan, orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, di wilayah Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah. Syafi'i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi prihatin, serba kekurangan. Usia dua tahun, bersama ibunya, ia kembali ke Mekkah. Di kota inilah Syafi'i mendapat pengasuhan ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Setelah hafal Al-Qur'an, Syafi'i menekuni pula kesusasteraan Arab. Ia pun bermukim di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Di dusun ini ia mendalami bahasa, kesusasteraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Karena ketekunan dan kepandaiannya, Syafi'i kemudian dikenal sebagai pakar dalam bahasa dan kesusasteraan Arab.
Puas belajar sastra Arab di tempatnya yang asli, Syafi'i kembali ke Mekah untuk belajar ilmu fikih. Gurunya, seorang ulama besar dan mufti kota Mekah, Imam Muslim bin Khalid az-Zanni. Ia pun belajar hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah dan Al-Qur'an dari Imam Ismail bin Qastantin. Secara khusus, ia yang telah hafal Al-Muwatta' berhasrat menemui sang penulisnya, Imam Malik, di Madinah. Hasratnya ini tercapai dan demi mendengar kepandaian Syafi'i, Imam Malik merasa sayang dan menyuruh tinggal di rumahnya sambil memperdalam ilmunya. Sejak itu, Syafi'i mendapat tugas untuk mendiktekan isi kitab Al-Muwatta' kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafi'i pun meninggalkan Madinah menuju Irak. Di negeri ini ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Setelah dua tahun di Irak, Syafi'i melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah, sebuah kota dekat Baitulmakdis (Yerusalem). Tujuannya hanya satu, menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramalah, ia kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik hingga wafatnya ulama besar tersebut.
Atas undangan Wali Negeri Yaman, Abdullah bin Hasan, Imam Syafi'i berdiam di negeri ini dan menjadi penasihat urusan hukum. Di Yaman, Imam Syafi'i juga mengajar. Murid-muridnya banyak dari berbagai pelosok negeri. Oleh Abdullah bin Hasan ia dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah bin Nafi yang masih cicit Usman bin Affan. Dari perkawinan itu, Imam Syafi'i dianugerahi tiga orang anak, Abdullah, Fatimah, dan Zainab.
Syafi'i terpaksa keluar dari Yaman karena ia ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan kalangan Syi'ah mencoba menggulingkan pemerintahan. Ia pun dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Karena terbukti tak bersalah, ia pun dibebaskan.
Permintaan mengajar datang dari Mesir. Abbas bin Musa, wali negeri itu, memintanya datang. Dengan berat hati, Imam Syafi'i meninggalkan Baghdad dan mulai mengajar di Masjid Amr bin Ash. Biasanya, ia mulai mengajar sejak pagi hari hingga menjelang Dzuhur. Di negeri inilah, Imam Syafi'i berhasil menyelesaikan beberapa buku karyanya.
Sekalipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, dalam lentera keilmuan dan keagamaan Imam Syafi'i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum. Pusat pemikirannya boleh dibilang terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi, menjadikan Syafi'i digelari sebagai Nasiir as Sunnah, atau pembela sunnah Nabi.
Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Malah beberapa kalangan menyebut Syafi'i yang menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al-Qur'an dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena itu, di mata Imam Syafi'i, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al-Qur'an.
Selain kepada kedua sumber tersebut, Al-Qur'an dan hadits, dalam mengambil ketetapan dan keputusan suatu hukum, Imam Syafi'i juga mengakui dan memakai ijma' (kesepakatan ulama), qias (analogi), dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam. Dalam karyanya, Ar Risalaah, kelima dasar ini dipaparkan secara jelas dan gamblang.
Dalam kaitannya dengan sunnah, Imam Syafi'i juga memakai hadits ahaad (perawinya satu orang), dan hadis mutawwatir (perawinya banyak orang). Menurutnya, bila dalam sunnah pun tidak didapati nasnya, ia mengambil ijma' sahabat. Namun, jika tetap tak didapati juga, imam Syafi'i memakai qias sebagai jalan ketetapan hukum. Demikian pula, jika tidak ada dalil dalam qias dan ijma', maka istidlal sebagai jalan terakhir memutuskan suatu hukum.
Berkaitan dengan bid'ah, imam Syafi'i berpendapat, bahwa bid'ah ada dua macam; bid'ah terpuji dan bid'ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid'ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah. Sebaliknya, jika bertentangan dengan sunnah, dikatakan bid'ah sesat, dan karena itu tertolak. Sementara itu, dalam soal taklid, Imam Syafi'i selalu memberikan perhatian kepada para muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang murid-muridnya bertaklid buta kepada pendapat-pendapatnya.
Sebaliknya, ia selalu menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat. Dalam kaitan ini pula, imam Syafi'i terkenal dengan ungkapannya, "Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari (ijtihadku), maka ikutilah ijtihad tersebut." Ungkapan bijak itu hingga kini menjadi pelajaran penting dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia.
Madzhab Syafi'i
Doktrin keagamaan, khususnya dalam bidang fikih, yang diajarkan Imam Syafi'i pada para pengikutnya kemudian dikenal sebagai Madzhab Syafi'i. Salah satu penganutnya adalah aliran Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan di Indonesia oleh kalangan NU. Madzhab ini mendasarkan sumber hukumnya pada Al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qias.
Madzhab ini mula-mula tumbuh dan berkembang di Irak. Di sinilah pertama kalinya Imam Syafi'i menyampaikan pikiran dan gagasannya kepada para ulama ketika ia melawat daerah ini dalam rangka menambah wawasannya. Paham ini pernah mendapat tentangan keras pada masa Dinasti Fathimiyah, yang memerintah di Mesir.
Dari sini madzhab Syafi'i terus berkembang ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Pakistan, Syria, India, Yaman, Persia (Iran), Hejaz. Di masa kini, Madzhab Syafii telah berkembang luas hingga Afrika, Asia (khususnya di negara-negara Asia Tenggara), dan beberapa negara bekas Uni Soviet.
Dasar terpenting dalam madzhab ini adalah pemikiran dan gagasan-gagasan Imam Syafi'i dalam buku-bukunya, selain kelima dasar hukum tersebut di atas. Di antara karya-karya imam Syafi'i adalah Ar-Risalah, karya Imam Syafi'i yang khusus membahas ushul fikih. Buku ini sampai sekarang jadi kitab standar ushul fikih. Kemudian, Al-Umm, kitab fikih yang komprehensif. Kitab itu sekarang terdiri dari tujuh jilid yang mencakup isi beberapa kitab karangannya seperti Siyar al-Ausai, Jima al-Ilmi, Ibtal al-Istihan, dan ar-Radd ala Muhammab ibn Hasan.
Selain itu juga buku Al-Musnad, berisi tentang hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dalam kitab Al-Umm. Serta Ikhtilaf al-Hadits, kitab yang menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam hadits. Sebagian besar karya Imam Syafi'i itu ditulis ketika ia bermukim di Mesir. Periode ini dikenal sebagai qaul jadid (pendapat-pendapat baru). Sementara pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal sebagai qaul qadim. [republika.co.id]
Ummat Islam sangat beruntung pernah memiliki ulama sekaligus perawi hadits yang sangat disegani itu. Dialah Imam Syafi'i. Saat berusia sembilan tahun, seluruh ayat Al-Qur'an dihafalnya dengan lancar (bahkan ia sempat 16 kali khatam Al-Qur'an, dalam perjalanannya antara Makkah dan Madinah). Setahun kemudian, isi kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya tanpa cacat.
Kecerdasan membuat dirinya dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Mekah, sebuah jabatan prestisius untuk ukuran masa itu. Kendati demikian, Imam Syafi'i yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi'i tak pernah merasa puas menuntut ilmu. Bagi Imam Syafi'i, panggilan terkenalnya, semakin dalam menekuni sebuah ilmu, semakin banyak yang ia belum mengerti. Karena itu, tak heran guru dari Imam Syafi'i demikian banyak, sama banyaknya dengan para muridnya.
Lahir di Gaza, Palestina pada 150 H/767 M (w. Cairo, 20 Januari 820), Imam Syafii hidup di masa Kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunan bertemu di Abdul Manaf, kakek ketiga Rasulullah. Dari ibunya, ia cicit Ali bin Abi Thalib.
Semasa dalam kandungan, orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, di wilayah Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah. Syafi'i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi prihatin, serba kekurangan. Usia dua tahun, bersama ibunya, ia kembali ke Mekkah. Di kota inilah Syafi'i mendapat pengasuhan ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Setelah hafal Al-Qur'an, Syafi'i menekuni pula kesusasteraan Arab. Ia pun bermukim di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Di dusun ini ia mendalami bahasa, kesusasteraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Karena ketekunan dan kepandaiannya, Syafi'i kemudian dikenal sebagai pakar dalam bahasa dan kesusasteraan Arab.
Puas belajar sastra Arab di tempatnya yang asli, Syafi'i kembali ke Mekah untuk belajar ilmu fikih. Gurunya, seorang ulama besar dan mufti kota Mekah, Imam Muslim bin Khalid az-Zanni. Ia pun belajar hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah dan Al-Qur'an dari Imam Ismail bin Qastantin. Secara khusus, ia yang telah hafal Al-Muwatta' berhasrat menemui sang penulisnya, Imam Malik, di Madinah. Hasratnya ini tercapai dan demi mendengar kepandaian Syafi'i, Imam Malik merasa sayang dan menyuruh tinggal di rumahnya sambil memperdalam ilmunya. Sejak itu, Syafi'i mendapat tugas untuk mendiktekan isi kitab Al-Muwatta' kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafi'i pun meninggalkan Madinah menuju Irak. Di negeri ini ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Setelah dua tahun di Irak, Syafi'i melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah, sebuah kota dekat Baitulmakdis (Yerusalem). Tujuannya hanya satu, menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramalah, ia kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik hingga wafatnya ulama besar tersebut.
Atas undangan Wali Negeri Yaman, Abdullah bin Hasan, Imam Syafi'i berdiam di negeri ini dan menjadi penasihat urusan hukum. Di Yaman, Imam Syafi'i juga mengajar. Murid-muridnya banyak dari berbagai pelosok negeri. Oleh Abdullah bin Hasan ia dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah bin Nafi yang masih cicit Usman bin Affan. Dari perkawinan itu, Imam Syafi'i dianugerahi tiga orang anak, Abdullah, Fatimah, dan Zainab.
Syafi'i terpaksa keluar dari Yaman karena ia ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan kalangan Syi'ah mencoba menggulingkan pemerintahan. Ia pun dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Karena terbukti tak bersalah, ia pun dibebaskan.
Permintaan mengajar datang dari Mesir. Abbas bin Musa, wali negeri itu, memintanya datang. Dengan berat hati, Imam Syafi'i meninggalkan Baghdad dan mulai mengajar di Masjid Amr bin Ash. Biasanya, ia mulai mengajar sejak pagi hari hingga menjelang Dzuhur. Di negeri inilah, Imam Syafi'i berhasil menyelesaikan beberapa buku karyanya.
Sekalipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, dalam lentera keilmuan dan keagamaan Imam Syafi'i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum. Pusat pemikirannya boleh dibilang terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi, menjadikan Syafi'i digelari sebagai Nasiir as Sunnah, atau pembela sunnah Nabi.
Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Malah beberapa kalangan menyebut Syafi'i yang menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al-Qur'an dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena itu, di mata Imam Syafi'i, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al-Qur'an.
Selain kepada kedua sumber tersebut, Al-Qur'an dan hadits, dalam mengambil ketetapan dan keputusan suatu hukum, Imam Syafi'i juga mengakui dan memakai ijma' (kesepakatan ulama), qias (analogi), dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam. Dalam karyanya, Ar Risalaah, kelima dasar ini dipaparkan secara jelas dan gamblang.
Dalam kaitannya dengan sunnah, Imam Syafi'i juga memakai hadits ahaad (perawinya satu orang), dan hadis mutawwatir (perawinya banyak orang). Menurutnya, bila dalam sunnah pun tidak didapati nasnya, ia mengambil ijma' sahabat. Namun, jika tetap tak didapati juga, imam Syafi'i memakai qias sebagai jalan ketetapan hukum. Demikian pula, jika tidak ada dalil dalam qias dan ijma', maka istidlal sebagai jalan terakhir memutuskan suatu hukum.
Berkaitan dengan bid'ah, imam Syafi'i berpendapat, bahwa bid'ah ada dua macam; bid'ah terpuji dan bid'ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid'ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah. Sebaliknya, jika bertentangan dengan sunnah, dikatakan bid'ah sesat, dan karena itu tertolak. Sementara itu, dalam soal taklid, Imam Syafi'i selalu memberikan perhatian kepada para muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang murid-muridnya bertaklid buta kepada pendapat-pendapatnya.
Sebaliknya, ia selalu menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat. Dalam kaitan ini pula, imam Syafi'i terkenal dengan ungkapannya, "Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari (ijtihadku), maka ikutilah ijtihad tersebut." Ungkapan bijak itu hingga kini menjadi pelajaran penting dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia.
Madzhab Syafi'i
Doktrin keagamaan, khususnya dalam bidang fikih, yang diajarkan Imam Syafi'i pada para pengikutnya kemudian dikenal sebagai Madzhab Syafi'i. Salah satu penganutnya adalah aliran Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan di Indonesia oleh kalangan NU. Madzhab ini mendasarkan sumber hukumnya pada Al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qias.
Madzhab ini mula-mula tumbuh dan berkembang di Irak. Di sinilah pertama kalinya Imam Syafi'i menyampaikan pikiran dan gagasannya kepada para ulama ketika ia melawat daerah ini dalam rangka menambah wawasannya. Paham ini pernah mendapat tentangan keras pada masa Dinasti Fathimiyah, yang memerintah di Mesir.
Dari sini madzhab Syafi'i terus berkembang ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Pakistan, Syria, India, Yaman, Persia (Iran), Hejaz. Di masa kini, Madzhab Syafii telah berkembang luas hingga Afrika, Asia (khususnya di negara-negara Asia Tenggara), dan beberapa negara bekas Uni Soviet.
Dasar terpenting dalam madzhab ini adalah pemikiran dan gagasan-gagasan Imam Syafi'i dalam buku-bukunya, selain kelima dasar hukum tersebut di atas. Di antara karya-karya imam Syafi'i adalah Ar-Risalah, karya Imam Syafi'i yang khusus membahas ushul fikih. Buku ini sampai sekarang jadi kitab standar ushul fikih. Kemudian, Al-Umm, kitab fikih yang komprehensif. Kitab itu sekarang terdiri dari tujuh jilid yang mencakup isi beberapa kitab karangannya seperti Siyar al-Ausai, Jima al-Ilmi, Ibtal al-Istihan, dan ar-Radd ala Muhammab ibn Hasan.
Selain itu juga buku Al-Musnad, berisi tentang hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dalam kitab Al-Umm. Serta Ikhtilaf al-Hadits, kitab yang menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam hadits. Sebagian besar karya Imam Syafi'i itu ditulis ketika ia bermukim di Mesir. Periode ini dikenal sebagai qaul jadid (pendapat-pendapat baru). Sementara pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal sebagai qaul qadim. [republika.co.id]
Imam Muslim
Imam Muslim
Siapa tak kenal Imam Muslim. Di kalangan santri, karya-karyanya masih menjadi rujukan penting berkaitan dengan ilmu Hadits. Di bidang ini (periwayatan Hadits), namanya sering disandingkan dengan Imam Bukhari, penghimpun dan perawi Hadits terbaik. Karena itu, nama Imam Muslim dan Imam Bukhari kerap kali bersanding dalam periwayatan sebuah Hadits.
Keduanya pun, dalam literatur Islam, kemudian dikenal dengan sebutan Imam Syaikhaan (dua ulama besar perawi Hadits). Bahkan, tak jarang sebuah Hadits hanya ditulis perawinya dengan nama rawahu syaikhaan maksudnya tak lain Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dilahirkan di Naisabur pada 202 H/817 M, Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur (kini termasuk wilayah Rusia, Red) dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr. Artinya, daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu Hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, ia telah berkonsentrasi mempelajari Hadits. Beruntung, ia dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada ahli Hadits, Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, ia mulai menghafal Hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan Hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang kemudian menjadi aktivitas rutin dirinya hanya untuk sekadar mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah Hadits.
Ia misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, tak terhindarkan Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru Hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar Hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli Hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah ia berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli Hadits. Kunjungannya yang terakhir ia lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu Hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, ia bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Lebih tragis lagi, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan Hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab Sahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan Hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal ia adalah gurunya. Hal serupa juga ia lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Sahihnya Hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendati demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu Hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar Hadits pada Universitas Damaskus, Syria, Hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah 3.030 Hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 Hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, Hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 Hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah Hadits yang ia tulis dalam Sahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 Hadits yang ia ketahui. Untuk menyaring Hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Soal metode penyusunan Hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu Hadits. Ia juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Berkat kesungguhan dan keseriusannya, Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu Hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang Hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafiz. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli Hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy. Jejak panjang perjuangan Imam Muslim berakhir pada Ahad sore, 24 Rajab 261, ketika Sang Khaliq menghendaki dirinya menghadap. (hery)[republika.
Imam Muslim
Siapa tak kenal Imam Muslim. Di kalangan santri, karya-karyanya masih menjadi rujukan penting berkaitan dengan ilmu Hadits. Di bidang ini (periwayatan Hadits), namanya sering disandingkan dengan Imam Bukhari, penghimpun dan perawi Hadits terbaik. Karena itu, nama Imam Muslim dan Imam Bukhari kerap kali bersanding dalam periwayatan sebuah Hadits.
Keduanya pun, dalam literatur Islam, kemudian dikenal dengan sebutan Imam Syaikhaan (dua ulama besar perawi Hadits). Bahkan, tak jarang sebuah Hadits hanya ditulis perawinya dengan nama rawahu syaikhaan maksudnya tak lain Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dilahirkan di Naisabur pada 202 H/817 M, Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur (kini termasuk wilayah Rusia, Red) dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr. Artinya, daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu Hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, ia telah berkonsentrasi mempelajari Hadits. Beruntung, ia dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada ahli Hadits, Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, ia mulai menghafal Hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan Hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang kemudian menjadi aktivitas rutin dirinya hanya untuk sekadar mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah Hadits.
Ia misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, tak terhindarkan Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru Hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar Hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli Hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah ia berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli Hadits. Kunjungannya yang terakhir ia lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu Hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, ia bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Lebih tragis lagi, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan Hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab Sahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan Hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal ia adalah gurunya. Hal serupa juga ia lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Sahihnya Hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendati demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu Hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar Hadits pada Universitas Damaskus, Syria, Hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah 3.030 Hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 Hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, Hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 Hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah Hadits yang ia tulis dalam Sahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 Hadits yang ia ketahui. Untuk menyaring Hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Soal metode penyusunan Hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu Hadits. Ia juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Berkat kesungguhan dan keseriusannya, Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu Hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang Hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafiz. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli Hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy. Jejak panjang perjuangan Imam Muslim berakhir pada Ahad sore, 24 Rajab 261, ketika Sang Khaliq menghendaki dirinya menghadap. [republika.co.id]
Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimwaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki. (her)[repub
Imam Malik
Imam Malik
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.
''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia,'' nasihat Imam Malik kepada Khalifah Harun.
Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota 'ilmu' yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
***
Imam Hanbali
Imam Hanbali
"Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa."
Penilaian itu diungkapkan Imam Syafi'i, yang tak lain adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basra, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.
Imam Bukhari
Imam Bukhari
Siapa tak kenal Imam Bukhari. Di kalangan muhadditsin (pakar Hadits), dia menjadi narasumber utama tentang ilmu Hadits. Sementara di kalangan peminat sejarah Islam dan pesantren, ia menjadi rujukan penting. Jejak perjuangannya banyak melahirkan ulama dan tokoh besar. Lihatlah perawi-perawi Hadits terkenal semisal Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasai, Ibnu Majjah, dan Abu Daud, adalah bekas anak didiknya. Karenanya, ia dijuluki Amirul-Mu'minin fil Hadits (pemimpin orang Mukmin dalam Hadits), gelar tertinggi bagi ahli Hadits.
Terlahir dengan nama Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al Mughirah ibn Bardizbah, (lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari), ia guru para muhadditsin ternama. Lahir di Bukhara pada 13 Syawwal 194 H (21 Juli 810 M). Ayah Bukhari selain berilmu, juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan takwa.
Keunggulan dan kejeniusan Imam Bukhari sudah tampak sejak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang bersih dan otak yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, khususnya dalam menghafal Hadits.
Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal Hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan kakaknya mengunjungi berbagai kota suci. Dalam petualangannya itu, banyak ulama dan tokoh-tokoh negerinya yang ia temui untuk belajar Hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Di usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah hafal kitab Sunan Ibn Mubarak dan Waki.
Rasyid ibn Ismail, kakak sang Imam menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu karena tidak mencatat.
Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 Hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Tahun 210 H, Bukhari berangkat ke Baitullah untuk menunaikan haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia memilih menetap di Mekkah. Meski di Baitullah, namun sesekali ia pergi ke Madinah. Di kedua Tanah Suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al Jami' As Sahih dan pendahuluannya.
Ia juga menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi SAW. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As Sagir, Al Awsat, dan Al Kabir, lahir dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya memberikan kritik, sehingga ia pernah berkata, sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Karya-karyanya itu tak lepas dari pengembaraannya ke banyak negeri : Syam, Mesir, Baghdad, Kuffah, dan Jazirah Arab, yang banyak memberikan inspirasi dan gagasan. Berkat kejeniusannya itu, Imam Bukhari berhasil merawi Hadits dari 80.000 perawi dan menghafalnya rinci dengan sumbernya.
Imam Muslim bin Al Hajjaj, pengarang kitab As Sahih Muslim menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."
Sementara itu, Az Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata : "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Sayang, tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az Zihli kepadanya. Kata Az Zihli : "Barang siapa berpendapat lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya : "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab : "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata : "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Selain mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnya pada karya terbesarnya, Sahih Bukhari, Imam Bukhari juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdoa sebelum menulis buku itu. Sebagian buku tersebut ditulisnya di samping makam Nabi di Madinah. Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan Hadits muridnya ini : "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka.
Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya. Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat.
Selain terkenal sebagai seorang alim, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Ia juga produktif dalam berkarya. Banyak buku telah dikarangnya, di antaranya : Al Jami' as-Sahih (Sahih Bukhari), Al Adab Al Mufrad, At Tarikh As Sagir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh Al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad Al Kabir, Kitab Al 'Ilal. Selain itu, ia juga menulis kitab Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Al Asyribah, Al Qira'ah Khalf Al Imam, Kitab Ad Du'afa, Asami as Sahabah, Kitab Al Kuna.
Kitab Al Jami' As Shahih (Sahih Bukhari), menjadi karya monumental Imam Bukhari. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata : "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari Hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al Jami' As Sahih."
Dalam menghimpun Hadits sahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan kesahihan Hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan Hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi Hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya : "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 Hadits selama 16 tahun." [republika.co.id]
Langganan:
Postingan (Atom)